Kamis, 11 September 2008
Dukacita Kedua
Melarikan Yesus ke Mesir
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Bagaikan seekor rusa yang terluka oleh panah membawa rasa sakit itu bersamanya kemanapun ia pergi, sebab ia membawa sertanya anak panah yang telah melukainya, demikian juga Bunda Allah. Setelah nubuat memilukan Nabi Simeon, seperti yang telah kita renungkan dalam dukacita pertama, Bunda Maria senantiasa membawa dukacita sertanya oleh karena kenangan terus-menerus akan sengsara Putranya. Hailgrino, menjelaskan baris bait ini, “Rambut di kepalamu, berwarna ungu raja, rapi terjalin,” mengatakan bahwa helai-helai rambut berwarna ungu ini adalah kenangan Bunda Maria yang terus-menerus akan sengsara Yesus, di mana darah yang suatu hari nanti memancar dari luka-luka-Nya senantiasa ada di depan matanya, “Dalam benakmu, ya Maria, dan dalam segala pemikiranmu, bayang-bayang darah sengsara Kristus senantiasa meliputimu dengan dukacita, seolah-olah engkau sungguh melihat darah memancar dari luka-luka-Nya.” Dengan demikian, Putranya sendiri merupakan anak panah di hati Maria; semakin menawan Ia di hatinya, semakin amat dalamlah bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang keji menyengsarakan hatinya.
Sekarang marilah kita merenungkan pedang dukacita kedua yang melukai Maria dalam melarikan Bayi Yesus dari aniaya Herodes ke Mesir. Herodes, mendengar bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, dalam kebodohannya, ketakutan kalau-kalau Ia akan menggulingkannya dari kerajaan. St. Fulgentius, mencela kebodohan Herodes dengan mengatakan, “Mengapakah engkau gelisah, hai Herodes? Raja yang baru dilahirkan ini datang tidak untuk menaklukan raja-raja dengan pedang, melainkan menaklukkan mereka secara mengagumkan dengan wafat-Nya.” Herodes yang kafir, menanti kabar dari para Majus di mana sang Raja dilahirkan agar ia dapat segera mencabut nyawa-Nya. Sadar bahwa ia ditipu, Herodes memerintahkan agar semua bayi yang didapati di wilayah Betlehem dan sekitarnya dibunuh. Sementara itu, malaikat menampakkan diri dalam mimpi kepada St Yusuf, “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir.” Menurut Gerson, St Yusuf segera, pada malam itu juga, menyampaikan perintah ini kepada Maria; dengan membawa Bayi Yesus, mereka memulai perjalanan mereka, seperti dengan jelas dicatat dalam Kitab Suci, “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir.” “Ya Tuhan,” demikian kata Beato Albertus Agung atas nama Maria, “Haruskah Ia menyingkir dari manusia, Ia yang datang untuk menyelamatkan manusia?” Maka tahulah Bunda yang berduka bahwa nubuat Simeon mengenai Putranya sudah mulai digenapi, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Menyadari bahwa segera sesudah kelahiran-Nya Ia dikejar-kejar untuk dibunuh, tulis St Yohanes Krisostomus, betapa isyarat pengungsian yang kejam atas dirinya dan Putranya itu telah mengakibatkan dukacita dalam hatinya, “Pergi dari para sahabat kepada orang-orang asing, dari Bait Allah ke kuil-kuil berhala. Adakah penderitaan yang lebih besar dari penderitaan seorang bayi yang baru dilahirkan, yang masih menyusu pada ibunya, dan ibundanya pula dalam keadaan miskin papa, dipaksa mengungsi bersamanya?”
Siapa pun dapat membayangkan bagaimana Bunda Maria menderita dalam perjalanan ini. Jarak ke Mesir jauh. Sebagian besar penulis sepakat jaraknya kira-kira 300 mil, suatu perjalanan mendaki selama tigapuluh hari. Jalannya, menurut gambaran St Bonaventura, “tidak rata, tak lazim dan jarang dilewati.” Waktu itu musim dingin, jadi mereka harus berkelana dalam salju, hujan dan angin, melewati jalan-jalan yang becek dan licin. Maria seorang gadis muda belia berusia sekitar limabelas tahun yang lemah lembut, yang tak terbiasa dengan perjalanan yang demikian. Tak ada seorang pun menolong mereka. St Petrus Chrysologus mengatakan, “Yusuf dan Maria tidak mempunyai baik pelayan laki-laki maupun perempuan; mereka sendirilah sekaligus majikan dan pelayan.” Ya Tuhan, pastilah sungguh menyentuh hati melihat Perawan yang lemah lembut, dengan Bayi yang baru lahir dalam pelukannya, berkeliaran di padang dunia! “Tetapi bagaimana,” tanya St Bonaventura, “mereka mendapatkan makanan? Di manakah mereka beristirahat pada malam hari? Adakah tempat menginap bagi mereka? Adakah yang mereka makan selain dari sepotong roti keras, entah bekal yang dibawa St Yusuf atau yang diterimanya sebagai sedekah? Di manakah gerangan mereka dapat tidur dalam perjalanan yang demikian (teristimewa 200 mil padang pasir, di mana tidak ada baik rumah ataupun penginapan), selain di atas pasir atau di bawah pohon di hutan, rentan terhadap cuaca dan bahaya penyamun serta binatang buas, yang sangat banyak terdapat di Mesir. Ah, andai saja ada yang berjumpa dengan tiga pribadi terbesar di dunia ini, yang sudi memberi tumpangan kepada tiga pengelana miskin yang malang.”
Di Mesir, menurut Brocard dan Jansenius, mereka tinggal di daerah yang disebut Maturea; meskipun St Anselmus berpendapat bahwa mereka tinggal di kota Heliopolis, atau di Memphis, yang sekarang disebut Kairo kuno. Sekarang, marilah kita merenungkan kemiskinan sangat yang menurut St Antonius, St Thomas, serta yang lainnya, pastilah mereka alami selama tujuh tahun mereka di sana. Mereka adalah orang asing, tak dikenal, tanpa penghasilan, uang, ataupun sanak saudara, semata-mata bertahan hidup dari perjuangan mereka yang gigih. “Karena mereka melarat,” kata St Basilus, “pastilah mereka berjuang keras guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” Landolph dari Saxony lebih jauh menulis (dan biarlah hal ini menjadi penghiburan bagi kaum miskin), bahwa “Maria tinggal di sana dalam kemiskinan yang sangat hingga terkadang ia bahkan tak mempunyai sebongkah roti pun untuk diberikan kepada Putranya, saat Ia memintanya karena lapar.”
Setelah Herodes mangkat, demikian St Matius mencatat, malaikat menampakkan diri lagi kepada St Yusuf dalam mimpi dan memintanya kembali ke Yudea. St Bonaventura menganggap kepulangan ini menyebabkan penderitaan yang lebih besar bagi Santa Perawan mengingat Yesus telah bertambah besar, usianya sekitar tujuh tahun, demikian menurut orang kudus ini, di mana, “Ia terlalu besar untuk digendong, tetapi belum cukup kuat untuk berjalan jauh sendiri tanpa pertolongan.”
Gambaran akan Yesus dan Maria yang berkelana sebagai pengembara di dunia, mengajarkan kepada kita agar kita pun selayaknya hidup sebagai pengembara di dunia ini, lepas dari keterikatan terhadap barang-barang yang ditawarkan dunia; kita akan segera meninggalkan dunia ini untuk memasuki keabadian, “Yang kita punyai sekarang bukanlah kota abadi, tetapi carilah kota abadi yang akan datang.” St Agustinus menambahkan, “Kalian adalah pengembara; kalian singgah, dan kemudian berlalu.” Hal ini juga mengajarkan kita untuk memeluk salib-salib kita, sebab tanpa salib kita tak dapat hidup di dunia ini. Beata Veronica da Binasco, seorang biarawati Agustinian, dibawa dalam roh untuk menemani Bunda Maria dan Bayi Yesus dalam perjalanan mereka ke Mesir; sesudahnya Bunda Allah mengatakan, “Puteriku, engkau telah melihat betapa dengan susah payah kami mencapai negeri ini; sekarang ketahuilah bahwa tak seorang pun menerima rahmat tanpa penderitaan.” Siapa pun yang berharap untuk merasakan penderitaan hidupnya lebih ringan, hendaknya menyertai Yesus dan Maria, “Ambillah Anak serta Ibu-Nya.” Maka segala beban derita terasa ringan, dan bahkan manis serta menyenangkan bagi dia, yang karena kasihnya menempatkan Putra dan Bunda dalam hatinya. Maka, marilah kita mengasihi Mereka; marilah kita menghibur Bunda Maria dengan menyambut dalam hati kita Putranya, yang bahkan hingga kini masih terus-menerus dianiaya oleh manusia dengan dosa-dosa mereka.
TELADAN
Santa Perawan suatu hari menampakkan diri kepada Beata Koleta, seorang biarawati Fransiskan, serta memperlihatkan kepadanya Bayi Yesus dalam sebuah buaian dalam keadaan terkoyak-koyak, dan mengatakan, “Beginilah para pendosa terus-menerus memperlakukan Putraku, memperbaharui kematian-Nya dan mengoyak hatiku dengan dukacita. Puteriku, berdoalah bagi mereka agar mereka bertobat.” Penampakan serupa dialami Venerabilis Joanna dari Yesus dan Maria, seorang biarawati Fransiskan juga. Suatu hari ia sedang merenungkan Bayi Yesus yang dianiaya Herodes ketika ia mendengar suara amat ribut, seakan-akan prajurit-prajurit bersenjata sedang mengejar seseorang; sekejap kemudian ia melihat di hadapannya seorang Anak yang sungguh elok paras-Nya, yang berlari terengah-engah sambil berseru, “O Joanna-Ku, tolonglah Aku, sembunyikanlah Aku! Aku Yesus dari Nazaret; Aku melarikan diri dari para pendosa yang hendak membunuh-Ku dan menganiaya-Ku seperti yang dilakukan Herodes. Sudikah engkau menyelamatkan Aku?”
DOA
Ya Bunda Maria, bahkan setelah Putramu wafat di tangan orang-orang yang menyiksa-Nya hingga tewas, orang-orang yang tak tahu berterima kasih ini belum juga berhenti menganiaya-Nya dengan dosa-dosa mereka dan terus-menerus mendukakan engkau, ya Bunda yang berduka! Dan, ya Tuhan, aku juga salah seorang dari mereka. Ah, Bundaku yang penuh kasih sayang, perolehkan bagiku airmata guna menangisi sikap tak tahu terima kasihku. Demi sengsara yang engkau derita selama perjalananmu ke Mesir, tolonglah aku dalam perjalanan yang aku lalui sekarang ini menuju keabadian; dengan demikian pada akhirnya aku akan dapat bersatu denganmu dalam mengasihi Juruselamat-ku yang teraniaya dalam Kerajaan Terberkati. Amin.
sumber : "On the Second Dolour, Of the Flight of Jesus to Egypt" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996; www.cin.org
Melarikan Yesus ke Mesir
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Bagaikan seekor rusa yang terluka oleh panah membawa rasa sakit itu bersamanya kemanapun ia pergi, sebab ia membawa sertanya anak panah yang telah melukainya, demikian juga Bunda Allah. Setelah nubuat memilukan Nabi Simeon, seperti yang telah kita renungkan dalam dukacita pertama, Bunda Maria senantiasa membawa dukacita sertanya oleh karena kenangan terus-menerus akan sengsara Putranya. Hailgrino, menjelaskan baris bait ini, “Rambut di kepalamu, berwarna ungu raja, rapi terjalin,” mengatakan bahwa helai-helai rambut berwarna ungu ini adalah kenangan Bunda Maria yang terus-menerus akan sengsara Yesus, di mana darah yang suatu hari nanti memancar dari luka-luka-Nya senantiasa ada di depan matanya, “Dalam benakmu, ya Maria, dan dalam segala pemikiranmu, bayang-bayang darah sengsara Kristus senantiasa meliputimu dengan dukacita, seolah-olah engkau sungguh melihat darah memancar dari luka-luka-Nya.” Dengan demikian, Putranya sendiri merupakan anak panah di hati Maria; semakin menawan Ia di hatinya, semakin amat dalamlah bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang keji menyengsarakan hatinya.
Sekarang marilah kita merenungkan pedang dukacita kedua yang melukai Maria dalam melarikan Bayi Yesus dari aniaya Herodes ke Mesir. Herodes, mendengar bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, dalam kebodohannya, ketakutan kalau-kalau Ia akan menggulingkannya dari kerajaan. St. Fulgentius, mencela kebodohan Herodes dengan mengatakan, “Mengapakah engkau gelisah, hai Herodes? Raja yang baru dilahirkan ini datang tidak untuk menaklukan raja-raja dengan pedang, melainkan menaklukkan mereka secara mengagumkan dengan wafat-Nya.” Herodes yang kafir, menanti kabar dari para Majus di mana sang Raja dilahirkan agar ia dapat segera mencabut nyawa-Nya. Sadar bahwa ia ditipu, Herodes memerintahkan agar semua bayi yang didapati di wilayah Betlehem dan sekitarnya dibunuh. Sementara itu, malaikat menampakkan diri dalam mimpi kepada St Yusuf, “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir.” Menurut Gerson, St Yusuf segera, pada malam itu juga, menyampaikan perintah ini kepada Maria; dengan membawa Bayi Yesus, mereka memulai perjalanan mereka, seperti dengan jelas dicatat dalam Kitab Suci, “Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir.” “Ya Tuhan,” demikian kata Beato Albertus Agung atas nama Maria, “Haruskah Ia menyingkir dari manusia, Ia yang datang untuk menyelamatkan manusia?” Maka tahulah Bunda yang berduka bahwa nubuat Simeon mengenai Putranya sudah mulai digenapi, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Menyadari bahwa segera sesudah kelahiran-Nya Ia dikejar-kejar untuk dibunuh, tulis St Yohanes Krisostomus, betapa isyarat pengungsian yang kejam atas dirinya dan Putranya itu telah mengakibatkan dukacita dalam hatinya, “Pergi dari para sahabat kepada orang-orang asing, dari Bait Allah ke kuil-kuil berhala. Adakah penderitaan yang lebih besar dari penderitaan seorang bayi yang baru dilahirkan, yang masih menyusu pada ibunya, dan ibundanya pula dalam keadaan miskin papa, dipaksa mengungsi bersamanya?”
Siapa pun dapat membayangkan bagaimana Bunda Maria menderita dalam perjalanan ini. Jarak ke Mesir jauh. Sebagian besar penulis sepakat jaraknya kira-kira 300 mil, suatu perjalanan mendaki selama tigapuluh hari. Jalannya, menurut gambaran St Bonaventura, “tidak rata, tak lazim dan jarang dilewati.” Waktu itu musim dingin, jadi mereka harus berkelana dalam salju, hujan dan angin, melewati jalan-jalan yang becek dan licin. Maria seorang gadis muda belia berusia sekitar limabelas tahun yang lemah lembut, yang tak terbiasa dengan perjalanan yang demikian. Tak ada seorang pun menolong mereka. St Petrus Chrysologus mengatakan, “Yusuf dan Maria tidak mempunyai baik pelayan laki-laki maupun perempuan; mereka sendirilah sekaligus majikan dan pelayan.” Ya Tuhan, pastilah sungguh menyentuh hati melihat Perawan yang lemah lembut, dengan Bayi yang baru lahir dalam pelukannya, berkeliaran di padang dunia! “Tetapi bagaimana,” tanya St Bonaventura, “mereka mendapatkan makanan? Di manakah mereka beristirahat pada malam hari? Adakah tempat menginap bagi mereka? Adakah yang mereka makan selain dari sepotong roti keras, entah bekal yang dibawa St Yusuf atau yang diterimanya sebagai sedekah? Di manakah gerangan mereka dapat tidur dalam perjalanan yang demikian (teristimewa 200 mil padang pasir, di mana tidak ada baik rumah ataupun penginapan), selain di atas pasir atau di bawah pohon di hutan, rentan terhadap cuaca dan bahaya penyamun serta binatang buas, yang sangat banyak terdapat di Mesir. Ah, andai saja ada yang berjumpa dengan tiga pribadi terbesar di dunia ini, yang sudi memberi tumpangan kepada tiga pengelana miskin yang malang.”
Di Mesir, menurut Brocard dan Jansenius, mereka tinggal di daerah yang disebut Maturea; meskipun St Anselmus berpendapat bahwa mereka tinggal di kota Heliopolis, atau di Memphis, yang sekarang disebut Kairo kuno. Sekarang, marilah kita merenungkan kemiskinan sangat yang menurut St Antonius, St Thomas, serta yang lainnya, pastilah mereka alami selama tujuh tahun mereka di sana. Mereka adalah orang asing, tak dikenal, tanpa penghasilan, uang, ataupun sanak saudara, semata-mata bertahan hidup dari perjuangan mereka yang gigih. “Karena mereka melarat,” kata St Basilus, “pastilah mereka berjuang keras guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” Landolph dari Saxony lebih jauh menulis (dan biarlah hal ini menjadi penghiburan bagi kaum miskin), bahwa “Maria tinggal di sana dalam kemiskinan yang sangat hingga terkadang ia bahkan tak mempunyai sebongkah roti pun untuk diberikan kepada Putranya, saat Ia memintanya karena lapar.”
Setelah Herodes mangkat, demikian St Matius mencatat, malaikat menampakkan diri lagi kepada St Yusuf dalam mimpi dan memintanya kembali ke Yudea. St Bonaventura menganggap kepulangan ini menyebabkan penderitaan yang lebih besar bagi Santa Perawan mengingat Yesus telah bertambah besar, usianya sekitar tujuh tahun, demikian menurut orang kudus ini, di mana, “Ia terlalu besar untuk digendong, tetapi belum cukup kuat untuk berjalan jauh sendiri tanpa pertolongan.”
Gambaran akan Yesus dan Maria yang berkelana sebagai pengembara di dunia, mengajarkan kepada kita agar kita pun selayaknya hidup sebagai pengembara di dunia ini, lepas dari keterikatan terhadap barang-barang yang ditawarkan dunia; kita akan segera meninggalkan dunia ini untuk memasuki keabadian, “Yang kita punyai sekarang bukanlah kota abadi, tetapi carilah kota abadi yang akan datang.” St Agustinus menambahkan, “Kalian adalah pengembara; kalian singgah, dan kemudian berlalu.” Hal ini juga mengajarkan kita untuk memeluk salib-salib kita, sebab tanpa salib kita tak dapat hidup di dunia ini. Beata Veronica da Binasco, seorang biarawati Agustinian, dibawa dalam roh untuk menemani Bunda Maria dan Bayi Yesus dalam perjalanan mereka ke Mesir; sesudahnya Bunda Allah mengatakan, “Puteriku, engkau telah melihat betapa dengan susah payah kami mencapai negeri ini; sekarang ketahuilah bahwa tak seorang pun menerima rahmat tanpa penderitaan.” Siapa pun yang berharap untuk merasakan penderitaan hidupnya lebih ringan, hendaknya menyertai Yesus dan Maria, “Ambillah Anak serta Ibu-Nya.” Maka segala beban derita terasa ringan, dan bahkan manis serta menyenangkan bagi dia, yang karena kasihnya menempatkan Putra dan Bunda dalam hatinya. Maka, marilah kita mengasihi Mereka; marilah kita menghibur Bunda Maria dengan menyambut dalam hati kita Putranya, yang bahkan hingga kini masih terus-menerus dianiaya oleh manusia dengan dosa-dosa mereka.
TELADAN
Santa Perawan suatu hari menampakkan diri kepada Beata Koleta, seorang biarawati Fransiskan, serta memperlihatkan kepadanya Bayi Yesus dalam sebuah buaian dalam keadaan terkoyak-koyak, dan mengatakan, “Beginilah para pendosa terus-menerus memperlakukan Putraku, memperbaharui kematian-Nya dan mengoyak hatiku dengan dukacita. Puteriku, berdoalah bagi mereka agar mereka bertobat.” Penampakan serupa dialami Venerabilis Joanna dari Yesus dan Maria, seorang biarawati Fransiskan juga. Suatu hari ia sedang merenungkan Bayi Yesus yang dianiaya Herodes ketika ia mendengar suara amat ribut, seakan-akan prajurit-prajurit bersenjata sedang mengejar seseorang; sekejap kemudian ia melihat di hadapannya seorang Anak yang sungguh elok paras-Nya, yang berlari terengah-engah sambil berseru, “O Joanna-Ku, tolonglah Aku, sembunyikanlah Aku! Aku Yesus dari Nazaret; Aku melarikan diri dari para pendosa yang hendak membunuh-Ku dan menganiaya-Ku seperti yang dilakukan Herodes. Sudikah engkau menyelamatkan Aku?”
DOA
Ya Bunda Maria, bahkan setelah Putramu wafat di tangan orang-orang yang menyiksa-Nya hingga tewas, orang-orang yang tak tahu berterima kasih ini belum juga berhenti menganiaya-Nya dengan dosa-dosa mereka dan terus-menerus mendukakan engkau, ya Bunda yang berduka! Dan, ya Tuhan, aku juga salah seorang dari mereka. Ah, Bundaku yang penuh kasih sayang, perolehkan bagiku airmata guna menangisi sikap tak tahu terima kasihku. Demi sengsara yang engkau derita selama perjalananmu ke Mesir, tolonglah aku dalam perjalanan yang aku lalui sekarang ini menuju keabadian; dengan demikian pada akhirnya aku akan dapat bersatu denganmu dalam mengasihi Juruselamat-ku yang teraniaya dalam Kerajaan Terberkati. Amin.
sumber : "On the Second Dolour, Of the Flight of Jesus to Egypt" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996; www.cin.org
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar