Kamis, 11 September 2008
Dukacita Pertama
Nubuat Nabi Simeon
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Dalam lembah airmata ini, setiap manusia dilahirkan untuk menangis, dan semua harus menderita, dengan menanggung kemalangan-kemalangan yang adalah peristiwa sehari-hari. Tetapi, alangkah jauh lebih hebatnya penderitaan hidup ini, andai saja kita mengetahui terlebih dahulu kemalangan-kemalangan yang menanti kita! “Betapa malangnya, sungguh, betapa berat penderitaan dia,” kata Seneca, “yang mengetahui kemalangan yang akan datang, sebab ia harus menderita semuanya sementara menanti.” Kristus menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita dalam hal ini. Ia menyembunyikan pencobaan-pencobaan yang menanti kita, sehingga, apa pun pencobaan itu, kita akan menanggungnya sekali saja. Namun demikian, Kristus tidak menunjukkan belas kasihan yang sama terhadap Bunda Maria; sebab dialah yang dikehendaki Tuhan menjadi Ratu Dukacita, dan seperti Putranya, dalam segala hal ia senantiasa telah melihat terlebih dahulu di depan matanya dan dengan demikian terus-menerus menanggung segala sengsara dan penderitaan yang menantinya; penderitaan-pernderitaan itu adalah Sengsara dan Wafat Yesusnya yang terkasih; seperti di Bait Allah Nabi Simeon, sementara menatang Kanak-kanak Yesus dalam tangannya, menubuatkan kepada Maria bahwa Putranya akan menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan. “Sesungguhnya Anak ini ditentukan… untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Dan karenanya, sebilah pedang dukacita akan menembus jiwanya, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.”
Bunda Maria sendiri mengungkapkan kepada St. Matilda bahwa pada saat menerima nubuat Nabi Simeon ini, “segala sukacitanya berubah menjadi dukacita.” Sebab, seperti dinyatakan kepada St. Teresa, meskipun Bunda Maria telah mengerti bahwa hidup Putranya akan dikurbankan demi keselamatan dunia, namun demikian ia melihat secara lebih jelas dan lebih detail sengsara dan wafat keji yang menanti Putranya yang malang. Ia tahu bahwa Putranya akan ditolak dalam segala hal. Ditolak dalam ajaran-ajaran-Nya; bukannya dipercaya, Ia malahan dianggap seorang penghujat dengan mengajarkan bahwa Ia adalah Putra Allah; hal ini dimaklumkan oleh Kayafas yang kejam dengan mengatakan, “Ia menghujat Allah. Ia harus dihukum mati!” Ia ditolak dalam status-Nya; Ia seorang bangsawan, bahkan keturunan raja, tetapi dipandang rendah sebagai rakyat jelata, “Bukankah Ia ini anak tukang kayu?” “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria?” Ia adalah kebijaksanaan itu sendiri, tetapi diperlakukan sebagai orang dungu, “Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar!” Dianggap sebagai nabi palsu, “Lalu mulailah beberapa orang meludahi Dia dan menutupi muka-Nya dan meninju-Nya sambil berkata kepadanya: `Hai nabi, siapakah yang memukul Engkau?'” Ia diperlakukan sebagai orang yang tidak waras, “Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?” Sebagai seorang peminum, pelahap dan sahabat orang-orang berdosa, “Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.” Sebagai tukang sihir, “Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.” Sebagai seorang kafir dan kerasukan setan, “Bukankah benar kalau kami katakan bahwa Engkau orang Samaria dan kerasukan setan?” Singkat kata, Yesus dianggap amat cemar karena kejahatan-Nya, hingga, seperti yang dikatakan orang-orang Yahudi kepada Pilatus, pengadilan tak diperlukan lagi untuk menjatuhkan hukuman mati atas-Nya, “Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu!” Ia ditolak bahkan dalam jiwa-Nya yang terdalam; oleh sebab Bapa-Nya yang Kekal, demi Keadilan Ilahi, menolak-Nya dengan tidak mengindahkan doa-Nya ketika Ia berdoa, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Bapa-Nya membiarkan Dia dalam keadaan takut, gelisah dan sedih; hingga Tuhan kita yang sengsara berseru, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” dan sengsara batin-Nya itu mengakibatkan-Nya meneteskan keringat darah. Ditolak dan dianiaya, pada tubuh-Nya dan sepanjang hidup-Nya; Ia dianiaya di seluruh anggota tubuh-Nya yang kudus, pada tangan-Nya, kaki-Nya, wajah-Nya, kepala-Nya dan sekujur tubuh-Nya; hingga dengan darah-Nya tercurah habis dan sebagai sasaran olok-olok dan makian, Ia wafat penuh sengsara di atas salib yang hina.
Ketika Daud, di tengah segala kenikmatan dan kemuliaan kerajaannya, mendengar dari Nabi Natan bahwa puteranya harus mati, “Pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati,” ia tidak dapat tenang, melainkan meratap, berpuasa dan berbaring di tanah. Bunda Maria dengan ketenangan yang luar biasa menerima nubuat bahwa Putranya harus mati, dan ia senantiasa berserah diri dalam damai akan hal itu; tetapi alangkah hebat dukacita yang harus terus-menerus dideritanya, melihat Putranya yang menawan ini selalu ada di dekatnya, mendengar dari-Nya sabda-sabda kehidupan kekal dan menyaksikan perilaku-Nya yang kudus! Abraham berduka luar biasa selama tiga hari yang ia lewatkan bersama puteranya, Ishak yang terkasih, setelah mengetahui bahwa ia harus kehilangan puteranya itu. Ya Tuhan, bukan selama tiga hari, melainkan tigapuluh tiga tahun lamanya Bunda Maria harus menanggung dukacita serupa. Serupa, kataku? Tidak, melainkan jauh lebih dahsyat, oleh sebab Putra Maria jauh lebih menawan daripada putera Abraham. Bunda Maria sendiri menampakkan diri kepada St Brigitta, mengatakan bahwa semasa di dunia, tak satu detik pun terlewatkan tanpa dukacita ini mengiris jiwanya. “Seringkali,” kata Bunda Maria, “saat aku memandangi Putraku, saat aku membedung-Nya dalam kain lampin, saat aku mengamati tangan dan kaki-Nya, begitu sering jiwaku larut, demikianlah, dalam dukacita yang pedih, karena pemikiran bagaimana Ia akan disalibkan kelak.” Abbas Rupert merenungkan Bunda Maria menyusui Putranya dan berkata tentang-Nya, “Buah hatiku bagaikan sekantong mur bagiku; Ia akan tinggal di antara buah dadaku.” Ah, Putraku, aku mendekap-Mu dalam pelukanku, sebab Engkau-lah jantung hatiku; tetapi semakin Engkau kukasihi, semakin Engkau menjadi sekantung mur dan dukacita bagiku apabila aku memikirkan sengsara-Mu. “Bunda Maria,” kata St Bernardinus dari Siena, “mencerminkan kekuatan para kudus yang diperas dalam penderitaan; keindahan Firdaus yang hilang pesonanya; Tuhan atas dunia yang diperlakukan sebagai penjahat; Pencipta segala sesuatu yang hitam lebam karena pukulan dan deraan; Hakim atas semua yang dijatuhi hukuman mati; Kemuliaan Surgawi yang dihinakan; Raja segala raja yang dimahkotai duri dan diperlakukan sebagai raja olok-olok.”
Pastor Engelgrave menceritakan, dinyatakan kepada St Brigitta bahwa Bunda yang berduka telah mengetahui Putranya harus menderita sengsara, “saat menyusui-Nya, terbayanglah empedu dan cuka; saat membedung-Nya, terbayanglah tali-tali yang akan membelenggu-Nya, saat membuai-Nya dalam pelukan, terbayanglah salib di mana Ia akan dipakukan; saat melihat-Nya tertidur lelap, terbayanglah kematian-Nya.” Setiap kali mengenakan pakaian pada-Nya, terpikirlah oleh Bunda Maria bahwa akan tiba harinya di mana pakaian akan ditanggalkan dari tubuh-Nya, bahwa Ia akan disalibkan; dan apabila ia memandangi tangan dan kaki-Nya yang kudus, ia membayangkan paku-paku yang suatu hari nanti akan dipalukan menembusinya; dan, seperti yang dikatakan Bunda Maria kepada St Brigitta, “mataku bersimbah airmata, dan hatiku didera dukacita.”
Para penginjil menulis bahwa sementara Yesus Kristus bertambah besar, Ia juga “bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Karena Yesus makin dikasihi manusia, betapa terlebih lagi Ia makin dikasihi Bunda-Nya Maria! Tetapi, ya Tuhan, sementara kasih bertambah dalam hatinya, betapa dukacita jauh lebih bertambah karena bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang keji; dan semakin dekat saat sengsara Putranya, semakin dalam pedang dukacita, seperti yang dinubuatkan Nabi Simeon, menembus hati Bunda-Nya. Hal ini secara tepat diungkapkan oleh malaikat kepada St Brigitta, “Pedang dukacita itu setiap detik semakin mendekati Santa Perawan sementara saat sengsara Putranya semakin dekat.”
Oleh sebab Yesus, Raja kita, dan Bunda-Nya yang Terkudus, tidak menolak, demi kasih kepada kita, untuk menderita sengsara yang demikian kejam sepanjang hidup mereka, maka pantaslah jika kita, sekurang-kurangnya, tidak mengeluh jika harus menderita sesuatu. Yesus yang tersalib, suatu ketika menampakkan diri kepada Sr Magdalena Orsini, seorang biarawati Dominikan yang telah lama menderita karena suatu pencobaan berat. Yesus memberinya semangat untuk tetap, dengan sarana penderitaannya itu, bersama-Nya di salib. Sr Magdalena menjawab dengan mengeluh, “Ya Tuhan, Engkau menderita sengsara di atas salib hanya selama tiga jam saja, sementara aku menanggung sengsaraku selama bertahun-tahun.” Sang Penebus kemudian menjawab, “Ah, jiwa yang bodoh, apakah yang engkau katakan? sejak saat pertama perkandungan-Ku, Aku menderita dalam hati-Ku segala yang kelak Aku derita sementara Aku meregang nyawa di atas salib.” Maka, jika kita juga menderita dan mengeluh, marilah kita membayangkan Yesus dan Bunda-Nya Maria, sambil mengucapkan kata-kata yang sama kepada diri kita sendiri.
TELADAN
Pastor Roviglione dari Serikat Yesus bercerita tentang seorang pemuda yang memiliki devosi setiap hari mengunjungi patung Bunda Dukacita, di mana Bunda Maria digambarkan dengan tujuh pedang menembusi hatinya. Pemuda malang ini suatu malam melakukan dosa berat. Keesokan harinya, saat mengunjungi Bunda Maria seperti biasanya, ia memperhatikan bahwa bukan lagi tujuh, melainkan delapan pedang yang menembusi hati Bunda Maria. Ia masih tercengang ketika didengarnya suara yang mengatakan bahwa dosanya telah menambahkan pedang kedelapan. Hal itu begitu menyentuh hatinya. Diliputi sesal mendalam, ia segera mengakukan dosanya dan dengan perantaraan Pembelanya ia dipulihkan kembali dalam keadaan rahmat.
DOA
Ya, Bunda Maria, bukan hanya sebilah pedang saja yang aku tikamkan pada hatimu, melainkan aku menikamkannya sebanyak dosa-dosa yang aku lakukan. Ah Bunda, bukan engkau yang tanpa dosa yang seharusnya menanggung segala derita itu, melainkan aku, yang bersalah atas begitu banyak dosa. Tetapi oleh karena engkau senantiasa rela hati menderita begitu banyak demi aku, ya Bunda, demi jasa-jasamu, perolehkanlah bagiku rahmat sesal mendalam atas dosa-dosaku, dan ketekunan dalam menghadapi pencobaan-pencobaan hidup. Rahmat-rahmat itu akan senantiasa menjadi terang bagi segala kelemahan dan kekuranganku; oleh sebab aku seringkali lebih pantas mendapatkan neraka. Amin.
sumber : "On the First Dolour, Of St. Simeon's Prophesy" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996; www.cin.org
Nubuat Nabi Simeon
oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori
Dalam lembah airmata ini, setiap manusia dilahirkan untuk menangis, dan semua harus menderita, dengan menanggung kemalangan-kemalangan yang adalah peristiwa sehari-hari. Tetapi, alangkah jauh lebih hebatnya penderitaan hidup ini, andai saja kita mengetahui terlebih dahulu kemalangan-kemalangan yang menanti kita! “Betapa malangnya, sungguh, betapa berat penderitaan dia,” kata Seneca, “yang mengetahui kemalangan yang akan datang, sebab ia harus menderita semuanya sementara menanti.” Kristus menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita dalam hal ini. Ia menyembunyikan pencobaan-pencobaan yang menanti kita, sehingga, apa pun pencobaan itu, kita akan menanggungnya sekali saja. Namun demikian, Kristus tidak menunjukkan belas kasihan yang sama terhadap Bunda Maria; sebab dialah yang dikehendaki Tuhan menjadi Ratu Dukacita, dan seperti Putranya, dalam segala hal ia senantiasa telah melihat terlebih dahulu di depan matanya dan dengan demikian terus-menerus menanggung segala sengsara dan penderitaan yang menantinya; penderitaan-pernderitaan itu adalah Sengsara dan Wafat Yesusnya yang terkasih; seperti di Bait Allah Nabi Simeon, sementara menatang Kanak-kanak Yesus dalam tangannya, menubuatkan kepada Maria bahwa Putranya akan menjadi tanda yang menimbulkan perbantahan. “Sesungguhnya Anak ini ditentukan… untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Dan karenanya, sebilah pedang dukacita akan menembus jiwanya, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.”
Bunda Maria sendiri mengungkapkan kepada St. Matilda bahwa pada saat menerima nubuat Nabi Simeon ini, “segala sukacitanya berubah menjadi dukacita.” Sebab, seperti dinyatakan kepada St. Teresa, meskipun Bunda Maria telah mengerti bahwa hidup Putranya akan dikurbankan demi keselamatan dunia, namun demikian ia melihat secara lebih jelas dan lebih detail sengsara dan wafat keji yang menanti Putranya yang malang. Ia tahu bahwa Putranya akan ditolak dalam segala hal. Ditolak dalam ajaran-ajaran-Nya; bukannya dipercaya, Ia malahan dianggap seorang penghujat dengan mengajarkan bahwa Ia adalah Putra Allah; hal ini dimaklumkan oleh Kayafas yang kejam dengan mengatakan, “Ia menghujat Allah. Ia harus dihukum mati!” Ia ditolak dalam status-Nya; Ia seorang bangsawan, bahkan keturunan raja, tetapi dipandang rendah sebagai rakyat jelata, “Bukankah Ia ini anak tukang kayu?” “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria?” Ia adalah kebijaksanaan itu sendiri, tetapi diperlakukan sebagai orang dungu, “Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar!” Dianggap sebagai nabi palsu, “Lalu mulailah beberapa orang meludahi Dia dan menutupi muka-Nya dan meninju-Nya sambil berkata kepadanya: `Hai nabi, siapakah yang memukul Engkau?'” Ia diperlakukan sebagai orang yang tidak waras, “Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?” Sebagai seorang peminum, pelahap dan sahabat orang-orang berdosa, “Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.” Sebagai tukang sihir, “Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.” Sebagai seorang kafir dan kerasukan setan, “Bukankah benar kalau kami katakan bahwa Engkau orang Samaria dan kerasukan setan?” Singkat kata, Yesus dianggap amat cemar karena kejahatan-Nya, hingga, seperti yang dikatakan orang-orang Yahudi kepada Pilatus, pengadilan tak diperlukan lagi untuk menjatuhkan hukuman mati atas-Nya, “Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu!” Ia ditolak bahkan dalam jiwa-Nya yang terdalam; oleh sebab Bapa-Nya yang Kekal, demi Keadilan Ilahi, menolak-Nya dengan tidak mengindahkan doa-Nya ketika Ia berdoa, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Bapa-Nya membiarkan Dia dalam keadaan takut, gelisah dan sedih; hingga Tuhan kita yang sengsara berseru, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” dan sengsara batin-Nya itu mengakibatkan-Nya meneteskan keringat darah. Ditolak dan dianiaya, pada tubuh-Nya dan sepanjang hidup-Nya; Ia dianiaya di seluruh anggota tubuh-Nya yang kudus, pada tangan-Nya, kaki-Nya, wajah-Nya, kepala-Nya dan sekujur tubuh-Nya; hingga dengan darah-Nya tercurah habis dan sebagai sasaran olok-olok dan makian, Ia wafat penuh sengsara di atas salib yang hina.
Ketika Daud, di tengah segala kenikmatan dan kemuliaan kerajaannya, mendengar dari Nabi Natan bahwa puteranya harus mati, “Pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati,” ia tidak dapat tenang, melainkan meratap, berpuasa dan berbaring di tanah. Bunda Maria dengan ketenangan yang luar biasa menerima nubuat bahwa Putranya harus mati, dan ia senantiasa berserah diri dalam damai akan hal itu; tetapi alangkah hebat dukacita yang harus terus-menerus dideritanya, melihat Putranya yang menawan ini selalu ada di dekatnya, mendengar dari-Nya sabda-sabda kehidupan kekal dan menyaksikan perilaku-Nya yang kudus! Abraham berduka luar biasa selama tiga hari yang ia lewatkan bersama puteranya, Ishak yang terkasih, setelah mengetahui bahwa ia harus kehilangan puteranya itu. Ya Tuhan, bukan selama tiga hari, melainkan tigapuluh tiga tahun lamanya Bunda Maria harus menanggung dukacita serupa. Serupa, kataku? Tidak, melainkan jauh lebih dahsyat, oleh sebab Putra Maria jauh lebih menawan daripada putera Abraham. Bunda Maria sendiri menampakkan diri kepada St Brigitta, mengatakan bahwa semasa di dunia, tak satu detik pun terlewatkan tanpa dukacita ini mengiris jiwanya. “Seringkali,” kata Bunda Maria, “saat aku memandangi Putraku, saat aku membedung-Nya dalam kain lampin, saat aku mengamati tangan dan kaki-Nya, begitu sering jiwaku larut, demikianlah, dalam dukacita yang pedih, karena pemikiran bagaimana Ia akan disalibkan kelak.” Abbas Rupert merenungkan Bunda Maria menyusui Putranya dan berkata tentang-Nya, “Buah hatiku bagaikan sekantong mur bagiku; Ia akan tinggal di antara buah dadaku.” Ah, Putraku, aku mendekap-Mu dalam pelukanku, sebab Engkau-lah jantung hatiku; tetapi semakin Engkau kukasihi, semakin Engkau menjadi sekantung mur dan dukacita bagiku apabila aku memikirkan sengsara-Mu. “Bunda Maria,” kata St Bernardinus dari Siena, “mencerminkan kekuatan para kudus yang diperas dalam penderitaan; keindahan Firdaus yang hilang pesonanya; Tuhan atas dunia yang diperlakukan sebagai penjahat; Pencipta segala sesuatu yang hitam lebam karena pukulan dan deraan; Hakim atas semua yang dijatuhi hukuman mati; Kemuliaan Surgawi yang dihinakan; Raja segala raja yang dimahkotai duri dan diperlakukan sebagai raja olok-olok.”
Pastor Engelgrave menceritakan, dinyatakan kepada St Brigitta bahwa Bunda yang berduka telah mengetahui Putranya harus menderita sengsara, “saat menyusui-Nya, terbayanglah empedu dan cuka; saat membedung-Nya, terbayanglah tali-tali yang akan membelenggu-Nya, saat membuai-Nya dalam pelukan, terbayanglah salib di mana Ia akan dipakukan; saat melihat-Nya tertidur lelap, terbayanglah kematian-Nya.” Setiap kali mengenakan pakaian pada-Nya, terpikirlah oleh Bunda Maria bahwa akan tiba harinya di mana pakaian akan ditanggalkan dari tubuh-Nya, bahwa Ia akan disalibkan; dan apabila ia memandangi tangan dan kaki-Nya yang kudus, ia membayangkan paku-paku yang suatu hari nanti akan dipalukan menembusinya; dan, seperti yang dikatakan Bunda Maria kepada St Brigitta, “mataku bersimbah airmata, dan hatiku didera dukacita.”
Para penginjil menulis bahwa sementara Yesus Kristus bertambah besar, Ia juga “bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Karena Yesus makin dikasihi manusia, betapa terlebih lagi Ia makin dikasihi Bunda-Nya Maria! Tetapi, ya Tuhan, sementara kasih bertambah dalam hatinya, betapa dukacita jauh lebih bertambah karena bayangan akan kehilangan Dia oleh kematian yang keji; dan semakin dekat saat sengsara Putranya, semakin dalam pedang dukacita, seperti yang dinubuatkan Nabi Simeon, menembus hati Bunda-Nya. Hal ini secara tepat diungkapkan oleh malaikat kepada St Brigitta, “Pedang dukacita itu setiap detik semakin mendekati Santa Perawan sementara saat sengsara Putranya semakin dekat.”
Oleh sebab Yesus, Raja kita, dan Bunda-Nya yang Terkudus, tidak menolak, demi kasih kepada kita, untuk menderita sengsara yang demikian kejam sepanjang hidup mereka, maka pantaslah jika kita, sekurang-kurangnya, tidak mengeluh jika harus menderita sesuatu. Yesus yang tersalib, suatu ketika menampakkan diri kepada Sr Magdalena Orsini, seorang biarawati Dominikan yang telah lama menderita karena suatu pencobaan berat. Yesus memberinya semangat untuk tetap, dengan sarana penderitaannya itu, bersama-Nya di salib. Sr Magdalena menjawab dengan mengeluh, “Ya Tuhan, Engkau menderita sengsara di atas salib hanya selama tiga jam saja, sementara aku menanggung sengsaraku selama bertahun-tahun.” Sang Penebus kemudian menjawab, “Ah, jiwa yang bodoh, apakah yang engkau katakan? sejak saat pertama perkandungan-Ku, Aku menderita dalam hati-Ku segala yang kelak Aku derita sementara Aku meregang nyawa di atas salib.” Maka, jika kita juga menderita dan mengeluh, marilah kita membayangkan Yesus dan Bunda-Nya Maria, sambil mengucapkan kata-kata yang sama kepada diri kita sendiri.
TELADAN
Pastor Roviglione dari Serikat Yesus bercerita tentang seorang pemuda yang memiliki devosi setiap hari mengunjungi patung Bunda Dukacita, di mana Bunda Maria digambarkan dengan tujuh pedang menembusi hatinya. Pemuda malang ini suatu malam melakukan dosa berat. Keesokan harinya, saat mengunjungi Bunda Maria seperti biasanya, ia memperhatikan bahwa bukan lagi tujuh, melainkan delapan pedang yang menembusi hati Bunda Maria. Ia masih tercengang ketika didengarnya suara yang mengatakan bahwa dosanya telah menambahkan pedang kedelapan. Hal itu begitu menyentuh hatinya. Diliputi sesal mendalam, ia segera mengakukan dosanya dan dengan perantaraan Pembelanya ia dipulihkan kembali dalam keadaan rahmat.
DOA
Ya, Bunda Maria, bukan hanya sebilah pedang saja yang aku tikamkan pada hatimu, melainkan aku menikamkannya sebanyak dosa-dosa yang aku lakukan. Ah Bunda, bukan engkau yang tanpa dosa yang seharusnya menanggung segala derita itu, melainkan aku, yang bersalah atas begitu banyak dosa. Tetapi oleh karena engkau senantiasa rela hati menderita begitu banyak demi aku, ya Bunda, demi jasa-jasamu, perolehkanlah bagiku rahmat sesal mendalam atas dosa-dosaku, dan ketekunan dalam menghadapi pencobaan-pencobaan hidup. Rahmat-rahmat itu akan senantiasa menjadi terang bagi segala kelemahan dan kekuranganku; oleh sebab aku seringkali lebih pantas mendapatkan neraka. Amin.
sumber : "On the First Dolour, Of St. Simeon's Prophesy" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - February 9, 1996; www.cin.org
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar