Kamis, 11 September 2008

Kesaksian Penginjil mengenai Yesus dan Maria

Matius.
Mat 1:1 Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.
Mat 1:2 Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yehuda dan saudara-saudaranya,
Mat 1:3 Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar, Peres memperanakkan Hezron, Hezron memperanakkan Ram,
Mat 1:4 Ram memperanakkan Aminadab, Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon,
Mat 1:5 Salmon memperanakkan Boas dari Rahab, Boas memperanakkan Obed dari Rut, Obed memperanakkan Isai,
Mat 1:6 Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria,
Mat 1:7 Salomo memperanakkan Rehabeam, Rehabeam memperanakkan Abia, Abia memperanakkan Asa,
Mat 1:8 Asa memperanakkan Yosafat, Yosafat memperanakkan Yoram, Yoram memperanakkan Uzia,
Mat 1:9 Uzia memperanakkan Yotam, Yotam memperanakkan Ahas, Ahas memperanakkan Hizkia,
Mat 1:10 Hizkia memperanakkan Manasye, Manasye memperanakkan Amon, Amon memperanakkan Yosia,
Mat 1:11 Yosia memperanakkan Yekhonya dan saudara-saudaranya pada waktu pembuangan ke Babel.
Mat 1:12 Sesudah pembuangan ke Babel, Yekhonya memperanakkan Sealtiel, Sealtiel memperanakkan Zerubabel,
Mat 1:13 Zerubabel memperanakkan Abihud, Abihud memperanakkan Elyakim, Elyakim memperanakkan Azor,
Mat 1:14 Azor memperanakkan Zadok, Zadok memperanakkan Akhim, Akhim memperanakkan Eliud,
Mat 1:15 Eliud memperanakkan Eleazar, Eleazar memperanakkan Matan, Matan memperanakkan Yakub,
Mat 1:16 Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.
Mat 1:17 Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.


Mat 1:18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri.

Mat 1:19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.
Mat 1:20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.

Mat 1:21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka."
Mat 1:22 Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi:
Mat 1:23 "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" --yang berarti: Allah menyertai
kita.Mat 2:1 Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem
Mat 2:2 dan bertanya-tanya: "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia."
Mat 2:3 Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem.
Mat 2:4 Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan.
Mat 2:5 Mereka berkata kepadanya: "Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi:
Mat 2:6 Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel."


Lukas.


Luk 1:26 Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret,
Luk 1:27 kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.
Luk 1:28 Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau."
Luk 1:29 Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.
Luk 1:30 Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
Luk 1:31 Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.
Luk 1:32 Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,
Luk 1:33 dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan."
Luk 1:34 Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?"
Luk 1:35 Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Luk 1:36 Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu.
Luk 1:37 Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil."
Luk 1:38 Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia.

Luk 1:43 Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?
Luk 1:44 Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
Luk 1:45 Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana."
Luk 1:46 Lalu kata Maria: "Jiwaku memuliakan Tuhan,
Luk 1:47 dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku,
Luk 1:48 sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,
Luk 1:49 karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.
Luk 1:50 Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Luk 1:51 Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;
Luk 1:52 Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Luk 1:53 Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;
Luk 1:54 Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya,
Luk 1:55 seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya."




Luk 2:4 Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, --karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud--
Luk 2:5 supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung.
Luk 2:6 Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin,
Luk 2:7 dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.
Luk 2:8 Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam.
Luk 2:9 Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan.
Luk 2:10 Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:
Luk 2:11 Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.

Luk 2:12 Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan."
Luk 2:13 Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya:
Luk 2:14 "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." Luk 2:22 Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan,
Luk 2:23 seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah",
Luk 2:24 dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.
Luk 2:25 Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya,
Luk 2:26 dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan.
Luk 2:27 Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus. Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat,
Luk 2:28 ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya:
Luk 2:29 "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu,
Luk 2:30 sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu,
Luk 2:31 yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa,
Luk 2:32 yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel."
Luk 2:33 Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia.
Luk 2:34 Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan
Luk 2:35 --dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri--,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang."

Yohanes.
Yoh 1:1 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.
Yoh 1:2 Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.
Yoh 1:3 Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.
Yoh 1:4 Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.
Yoh 1:5 Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.

Yoh 1:10 Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.
Yoh 1:11 Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.
Yoh 1:12 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;

Yoh 1:13 orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. Yoh 1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

Yoh 1:15 Yohanes memberi kesaksian tentang Dia dan berseru, katanya: "Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku."
Yoh 1:16 Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia;
Yoh 1:17 sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus.
Yoh 1:18 Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.
Yoh 1:19 Dan inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari Yerusalem mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi kepadanya untuk menanyakan dia: "Siapakah engkau?"
7 OKTOBER : PESTA SANTA PERAWAN MARIA RATU ROSARIO

Pada tanggal 7 Oktober 1571 terjadi suatu pertempuran armada laut yang dahsyat di Laut Tengah, dekat pantai Yunani. Tempat itu disebut Lepanto. Turki memiliki angkatan laut yang paling kuat di bawah pimpinan Halifasha. Sebelum pertempuran ini, Turki telah menyerang semua pelabuhan Katolik di Eropa. Paus Pius V yang pada waktu itu duduk di Tahta St. Petrus di Roma menyerukan supaya semua orang Katolik di Eropa bersatu dan bertahan terhadap serangan armada Halifasha. Kemudian Paus menunjuk Don Yuan dari Austria menjadi komandan armada gabungan Eropa yang akan menghadapi armada Turki.

Don Yuan terkenal memiliki devosi yang sangat kuat kepada Bunda Maria. Ketika tentara Katolik naik ke kapal untuk diberangkatkan ke medan perang, mereka masing-masing diberi rosario di tangan kanan, sementara tangan kiri mereka memegang senjata. Paus yang menyadari aramada ini tidak ada artinya dibandingkan dengan armada Turki yang jumlahnya tiga kali lipat, meminta agar seluruh penduduk Eropa berdoa rosario. Di mana-mana orang berdoa rosario selama 24 jam terus-menerus.

7 Oktober 1571 pukul 11.30 kedua armada itu mulai bertempur dengan dahsyat hingga baru berakhir keesokan harinya pukul 5.30 sore. Mukjizat terjadi di sana. Ketika pertempuran sedang berlangsung sengit, tiba-tiba angin berubah arah sehingga menguntungkan pihak armada Katolik. Armada Turki berhasil dikalahkan. Halifasha mati terbunuh. Karena kemenangan rosario ini, maka tanggal 7 Oktober ditetapkan sebagai Hari Raya Rosario.

15 JANJI BUNDA MARIA BAGI MEREKA YANG SETIA BERDOA ROSARIO

1. Mereka yang dengan setia mengabdi padaku dengan mendaraskan Rosario, akan menerima rahmat-rahmat yang berdaya guna.
2. Aku menjanjikan perlindungan istimewa dan rahmat-rahmat terbaik bagi mereka semua yang mendaraskan Rosario.
3. Rosario akan menjadi perisai ampuh melawan neraka. Rosario melenyapkan sifat-sifat buruk, mengurangi dosa dan memenaklukkan kesesatan.
4. Rosario akan menumbuhkan keutamaan-keutamaan dan menghasilkan buah dari perbuatan-perbuatan baik. Rosario akan memperolehkan bagi jiwa belas kasihan melimpah dari Allah, akan menarik jiwa dari cinta akan dunia dan segala kesia-siaannya, serta mengangkatnya untuk mendamba hal-hal abadi. Oh, betapa jiwa-jiwa akan menguduskan diri mereka dengan sarana ini.
5. Jiwa yang mempersembahkan dirinya kepadaku dengan berdoa Rosario tidak akan binasa.
6. Ia yang mendaraskan rosario dengan khusuk, dengan merenungkan misteri-misterinya yang suci, tidak akan dikuasai kemalangan. Tuhan tidak akan menghukumnya dalam keadilan-Nya, ia tidak akan meninggal dunia tanpa persiapan; jika ia tulus hati, ia akan tinggal dalam keadaan rahmat dan layak bagi kehidupan kekal.
7. Mereka yang memiliki devosi sejati kepada Rosario tidak akan meninggal dunia tanpa menerima sakramen-sakramen Gereja.
8. Mereka yang dengan setia mendaraskan Rosario, sepanjang hidup mereka dan pada saat ajal mereka, akan menerima Terang Ilahi dan rahmat Tuhan yang berlimpah; pada saat ajal, mereka akan menikmati ganjaran pada kudus di surga.
9. Aku akan membebaskan mereka, yang setia berdevosi Rosario, dari api penyucian.
10. Putera-puteri Rosario yang setia akan diganjari tingkat kemuliaan yang tinggi di surga.
11. Kalian akan mendapatkan segala yang kalian minta daripadaku dengan mendaraskan Rosario.
12. Aku akan menolong mereka semua yang menganjurkan Rosario Suci dalam segala kebutuhan mereka.
13. Aku mendapatkan janji dari Putra Ilahiku bahwa segenap penganjur Rosario akan mendapat perhatian surgawi secara khusus sepanjang hidup mereka dan pada saat ajal.
14. Mereka semua yang mendaraskan Rosario adalah anak-anakku, saudara dan saudari Putra tunggalku, Yesus Kristus.
15. Devosi kepada Rosarioku merupakan pratanda keselamatan yang luh

Ratu Rosario

Ratu Rosario

"Berdoalah Rosario setiap hari... Berdoa, berdoalah sesering mungkin dan persembahkanlah silih bagi para pendosa... Akulah Ratu Rosario... Pada akhirnya Hatiku yang Tak Bernoda akan menang."

Pesan Bunda Maria dalam penampakan kepada anak-anak di Fatima

Apa itu Rosario?

Asal-usul Rosario

APA ITU ROSARIO?

Rosario berarti "Mahkota Mawar". Bunda Maria menyatakan kepada beberapa orang bahwa setiap kali mereka mendaraskan satu Salam Maria, mereka memberinya sekuntum mawar yang indah dan setiap mendaraskan Rosario secara lengkap mereka memberinya sebuah mahkota mawar. Mawar adalah ratu semua bunga, jadi Rosario adalah ratu dari semua devosi, oleh karenanya rosario adalah devosi yang paling penting. Rosario dianggap sebagai doa yang sempurna karena di dalamnya terkandung warta keselamatan yang mengagumkan.

Sesungguhnya, dengan Rosario kita merenungkan peristiwa-peristiwa gembira, sedih dan mulia dalam kehidupan Yesus dan Maria. Rosario adalah doa yang sederhana, sangat sederhana seperti Maria. Rosario adalah doa yang dapat kita doakan bersama dengan Bunda Maria, Bunda Tuhan. Dengan Salam Maria kita memohon Bunda Maria untuk mendoakan kita. Bunda Maria senantiasa mengabulkan permohonan kita. Ia menyatukan doanya dengan doa kita. Oleh karena itu, rosario menjadi doa yang ampuh sebab apa yang Bunda Maria minta, ia pasti menerimanya. Yesus tidak pernah menolak apa pun yang diminta BundaNya.

Di setiap penampakan, Bunda Surgawi meminta kita untuk mendaraskan Rosario sebagai senjata ampuh melawan kejahatan, dan sarana pembawa damai sejahtera. Dengan doamu digabungkan dengan doa Bunda Surgawi, kamu dapat memperoleh rahmat yang besar untuk menghasilkan pertobatan. Setiap hari, melalui doa, kamu dapat mengusir dari dirimu sendiri dan dari tanah airmu banyak bahaya dan kejahatan. Tampaknya, Rosario hanyalah doa yang diulang-ulang, tetapi sesungguhnya Rosario itu seperti dua orang yang saling mengasihi yang setiap kali saling mengucapkan: "Aku mengasihimu"…

Keseluruhan Rosario terdiri dari lima belas misteri. Dalam satu misteri didaraskan sepuluh Salam Maria untuk menghormati suatu misteri dalam kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda Maria.
Biasanya kita mendaraskan lima misteri sekaligus sambil merenungkan suatu peristiwa.
Misteri-misteri dapat didoakan sebagian untuk kemudian dilanjutkan kembali, hingga satu peristiwa lengkap didaraskan dalam hari yang sama.
Di setiap misteri yang terdiri dari sepuluh Salam Maria, meditasi dapat dilakukan di setiap manik-manik yang mewakili satu Salam Maria.


ASAL USUL ROSARIO

Karena Rosario dirangkai -terutama dan pada hakekatnya- dari Doa Yesus dan Salam Malaikat, yaitu Bapa Kami dan Salam Maria, maka tanpa ragu-ragu kita mengakui doa itu sebagai doa utama sekaligus devosi utama umat beriman. Doa itu telah dipakai berabad-abad lamanya semenjak zaman para rasul dan murid-murid hingga sekarang ini.

Namun baru pada tahun 1214, Gereja menerima dan mengakuinya dalam bentuknya yang sekarang ini, serta mendaraskannya menurut metode yang kita pakai sekarang ini. Doa ini diwariskan kepada Gereja oleh St. Dominikus, pendiri Ordo Para Pengkotbah, yang menerimanya langsung dari Bunda Perawan Terberkati sebagai sarana yang ampuh untuk mempertobatkan kaum bidaah Albigensia dan pendosa-pendosa lainnya. Sehubungan dengan itu saya mau menceritakan kepada anda kisah St. Dominikus menerima Rosario Suci itu. Kisah ini ditemukan di dalam buku termasyhur Beato Alan de la Roche berjudul De Dignitate Psalterii.

Menyadari bahwa gawatnya dosa-dosa umat merintangi pertobatan kaum bidaah Albigensia, Santo Dominikus mengasingkan diri ke sebuah hutan dekat kota Toulouse. Di sana ia berdoa tak henti-hentinya selama tiga hari tiga malam. Selama itu, ia tidak berbuat apa-apa selain berdoa sambil menangis, dan dengan tekun mengusahakan penebusan dosa demi meredakan kemurkaan Allah yang Mahakuasa. Ia berdoa dan bermatiraga dengan pengendalian diri yang sungguh-sungguh sehingga badannya menjadi lemah dan rapuh. Akhirnya ia jatuh sakit parah. Pada saat itulah Bunda Maria, didampingi oleh tiga malaikat, menampakkan diri kepadanya dan berkata: "Dominikus yang terkasih! Tahukah engkau senjata ampuh yang dipakai Tritunggal Mahakudus untuk membaharui dunia ini?" Jawab Santo Dominikus, "Oh, Ibu, engkau tahu senjata itu jauh melebihi saya, karena di samping Puteramu Yesus Kristus, engkau sudah selalu menjadi sarana utama keselamatan kami." Lalu Bunda Maria menjawab: "Aku mau engkau mengetahui bahwa dalam peperangan semacam ini, alat pelantak yang ampuh itu ialah Salam Malaikat, yang merupakan batu fundasi Perjanjian Baru. Oleh karena itu, kalau engkau mau menemui jiwa-jiwa kaum beriman yang bersikap keras, dan memenangkan mereka bagi Allah, wartakanlah mazmurku."

Dominikus merasa terhibur lalu bangun. Terbakar oleh semangatnya untuk mempertobatkan orang-orang di daerah itu, ia mendirikan sebuah katedral. Pada suatu hari, malaikat-malaikat yang tak kelihatan membunyikan lonceng-lonceng untuk mengumpulkan orang-orang di daerah itu. Lalu Dominikus mulai berkhotbah kepada mereka.

Pada awal khotbahnya terdengar letusan halilintar yang menggemparkan, bumi bergoncang, matahari tak bersinar, dan guntur serta halilintar menggelegar sambung-menyambung membuat semua orang ketakutan. Mereka semakin takut tatkala memandang gambar Bunda Maria mengangkat tangannya ke surga sebanyak tiga kali untuk menurunkan murka Allah atas mereka apabila mereka tidak mau bertobat, tidak mau merobah hidup mereka, dan tidak mau mencari perlindungan dari Bunda Allah yang kudus.

Dengan cara ajaib ini Tuhan bermaksud menyebarluaskan devosi baru kepada Rosario Suci, dan membuatnya lebih dikenal oleh semua orang. Karena doa Dominikus, halilintar itu mulai reda berangsur-angsur, sehingga ia dapat melanjutkan kotbahnya. Dengan tegas dan mendesak, ia menjelaskan nilai dan pentingnya rosario suci sehingga hampir semua orang Toulouse memeluknya dan berjanji untuk meninggalkan kepercayaan mereka yang salah. Dalam waktu yang begitu singkat terjadilah perubahan besar di kota itu. Umat mulai menghayati kehidupan Kristiani, dan menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka.

(Sumber: “Rahasia Rosario”, judul asli: The Secret of the Rosary by St Louis-Marie Grignion de Montfort, diterjemahkan oleh B. Mali, Penerbit Obor)

Bunda Pertolongan Orang Kristen

Bunda Pertolongan Orang Kristen

Dalam tahun 1571 sebuah armada Turki yang luar biasa besar berlayar menuju Eropa. Sasarannya menaklukkan Kota Abadi Roma. Dari pihak Eropa dikerahkan sebuah armada gabungan, namun kecil jumlahnya dan sederhana persenjataannya, dipimpin oleh Don Yuan dari Austria.

Dalam tahun 1570, Uskup Agung Montufor dari Meksiko menyuruh dibuatkan reproduksi gambar Bunda Maria Guadalupe yang sebelum dikirim kepada Raja Philip II dari Spanyol disentuhkan pada gambar aslinya. Gambar kecil itu diserahkan kepada Admiral Giovani Doria dan disimpan dalam kabin admiral selama pertempuran yang hebat berlangsung di Lepanto. Ia berkata, "Mari kita panjatkan doa mohon bantuan doa Maria untuk menyelamatkan armada kita dalam pertempuran yang jelas-jelas merupakan kehancuran di pihak Barat."

Waktu itu Pimpinan Gereja tertinggi adalah Paus Pius V. Beliau menyerukan kepada semua orang Katolik di Eropa untuk memohon bantuan Bunda Allah dengan gelarnya Pertolongan Orang Kristen dengan berdoa rosario tanpa henti. Umat Katolik menanggapi seruan Paus dan berdoa rosario 24 jam terus-menerus.

Dalam saat-saat yang amat kritis, pada saat pertempuran berat sebelah dan armada Kristen tak berdaya, tiba-tiba angin yang amat besar datang dan bertiup menerjang armada Turki. Armada yang kuat itu tenggelam dan hancur berantakan. Semestinya berita itu baru sampai di Roma beberapa hari kemudian, tetapi aneh, Paus tiba-tiba berkata, "Marilah kita mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah; kemenangan sudah kita capai!" Kata-kata Paus itu dicatat dan disegel. Dua minggu kemudian utusan Don Yuan tiba di Roma membawa berita gembira tersebut. Isinya mengenai kemenangan tepat pada saat Paus mengumumkannya di Roma yaitu tanggal 7 Oktober 1571.

Satu hari penuh dipersembahkan untuk menghormati Bunda Maria Bunda Segala Kemenangan. Tahun berikutnya 7 Oktober ditetapkan sebagai Pesta Ratu Rosario Yang Tersuci. Pada tahun 1815, seruan Santa Perawan Maria Pertolongan Orang Kristen ditambahkan dalam Litani Bunda Maria dari Loretto.

MIMPI SANTO YOHANES BOSCO

Mengenai Santo Yohanes Bosco, Paus Pius XI pernah menyatakan: "Untuk Don Bosco, hal yang luar biasa menjadi biasa!" Di antara hal-hal luar biasa yang dianugerahkan Allah kepadanya adalah karunia membaca jiwa seseorang, nubuat, serta mimpi-mimpi yang ternyata berupa visiun (penglihatan, penampakan).

Don Bosco mendapat visiunnya yang pertama ketika berusia sembilan tahun dan kemudian banyak visiun-visiun yang diterimanya sepanjang hidupnya sebagai imam. Pada tahun 1844, Bunda Allah menampakkan diri kepada Don Bosco dan minta supaya didirikan sebuah gereja dengan nama Maria Pertolongan Orang Kristen. Bunda berbicara dengannya secara tepat dan mendetail hingga pada konstruksi bangunannya.

Paus Pius IX menyuruh Don Bosco menulis semua mimpinya untuk menyemangati Tarekatnya, Tarekat St. Fransiskus dari Sales, dan seluruh dunia. Dalam buku "Dreams, Visions and Prophecies of Don Bosco" ditemukan "Impian tentang dua tiang utama". Bagian ini ditulis pada tanggal 30 Mei 1862. Tulisan berikut adalah ringkasan dari teks aslinya:

"Beberapa menit yang lalu, saya bermimpi... Saya melihat suatu samudera yang amat luas. Seluruhnya air yang ditutupi suatu formasi armada kapal-kapal dalam keadaan siap tempur... Semua kapal dilengkapi persenjataan berat dengan meriam, bom pembakar dan macam-macam persenjataan. Ada sebuah kapal yang megah dan lebih agung dari kapal lainnya. Ketika merapat, kapal-kapal lain langsung menghantam, menembakkan api dan menyerangnya habis-habisan. Kapal raksasa yang agung itu dikelilingi sebuah konvoi kapal kecil... Di tengah-tengah lautan yang tak berujung itu, nampak dua tiang besar yang amat kokoh, dalam jarak yang agak jauh, menjulang tinggi ke langit. Tiang yang satu menyangga sebuah patung Santa Perawan Maria yang Tak Bernoda. Di bawah kakinya terbaca huruf-huruf besar yang jelas: PERTOLONGAN ORANG KRISTEN. Tiang yang lainnya jauh lebih kokoh dan tinggi, menyangga sebuah Hosti dan di bawahnya tertulis: KESELAMATAN BAGI UMAT BERIMAN.

Komandan kapal raksasa ini ialah Paus. Menghadapi serangan yang berbahaya itu Paus segera memanggil kapten-kapten kapal untuk berunding. Namun, ketika mereka sedang merundingkan strategi, sebuah badai yang ganas datang. Mereka harus kembali ke kapal masing-masing. Sambil berdiri di tempat kemudi, Paus mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengemudikan kapalnya di antara dua tiang besar itu. Semua armada musuh merapat dan dengan segala daya upaya berusaha menenggelamkan kapal besar itu. Meriam-meriam musuh meledak terus. Tiba-tiba Paus jatuh, terluka parah. Ia segera ditolong tetapi jatuh untuk kedua kalinya dan menghembuskan napasnya yang terakhir. Teriakan kemenangan dan luapan kegembiraan dari kapal-kapal musuh semakin menggila.

Tak lama setelah Paus meninggal, yang lain segera mengambil alih. Dengan segala pertahanannya, Paus yang baru berhasil mengemudikan kapal dengan selamat di antara dua tiang besar itu dan menambatkan kapalnya pada kedua tiang itu; pertama pada tiang dengan Hosti di atasnya, dan kemudian pada tiang dengan patung Bunda Maria di atasnya. Sesuatu yang tak terduga terjadi. Kapal-kapal musuh menjadi panik dan tercerai-berai, saling bertabrakan dan menenggelamkan satu sama lain... Sekarang suatu ketenangan yang besar meliputi seluruh samudera itu."

Kemudian Don Bosco menjelaskan, "Kapal-kapal musuh melambangkan penganiayaan. Pencobaan yang besar menanti Gereja. Para musuh Gereja dilambangkan oleh kapal-kapal yang menyerang dan berusaha menenggelamkan kapal besar. Hanya dua hal yang dapat menyelamatkan kita pada saat yang kritis itu. Devosi kepada Sakramen Maha Kudus dan Devosi kepada Bunda Allah."

Mari kita berusaha sekuat tenaga memanfaatkan kedua devosi ini serta menganjurkannya kepada siapa saja, di mana saja untuk melakukan hal yang sama!

sumber : AVE MARIA No. 8 Mei 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia

Bunda Penolong Abadi

Bunda Penolong Abadi


27 JULI : PESTA BUNDA PENOLONG ABADI

Dalam sebuah pelayaran mengarungi samudera, sebuah kapal diterpa badai. Semua penumpang panik termasuk kapten kapal dan anak buahnya. Berbagai usaha telah dicoba agar kapal tidak tenggelam, namun tampaknya sia-sia. Seorang penumpang teringat akan bawaannya. Ia buka bungkusnya dan nampaklah sebuah lukisan Bunda Maria. Sambil memperlihatkan lukisan Bunda Maria di tangannya ia berkata kepada semua penumpang kapal, "Mari kita berdoa mohon perlindungan Maria Bintang Laut."

Tengah mereka berlutut dan berdoa tiba-tiba langit yang tadinya gelap berawan menjadi cerah. Angin yang selama beberapa jam membuat perahu oleng mulai reda. Begitu juga gelombang laut pelan-pelan menjadi teduh. Akhirnya kapal merapat di pelabuhan Roma. Semua penumpang selamat.

Pemilik lukisan langsung menuju ke rumah kawannya. Sayang, usia orang itu tidak lama. Sebelum meninggal ia berpesan kepada kawannya untuk menyerahkan lukisan kepada salah satu gereja di Roma. Kawannya melihat lukisan itu indah, tetapi juga aneh. Tidak sebagaimana lukisan Bunda Maria yang pernah ia lihat, lukisan ini memberi suatu pesan khusus yang sulit dilupakan.

Gambar ajaib itu memperlihatkan Bunda Maria sedang menggendong Kanak-kanak Yesus. Sikap dan wajah Yesus memperlihatkan rasa cemas. Yesus yang masih kecil nampaknya mencari perlindungan pada bunda-Nya. Tangan-Nya yang mungil menggenggam erat-erat tangan Bunda Maria. Mata Yesus menunjukkan rasa cemas. Keterkejutan dan usaha menyelamatkan diri secara tergesa-gesa nampak dari salah satu sandalnya yang tergantung dan hampir terlepas .

Menurut pelukisnya, kemungkinan ia berasal dari pulau Kreta di Eropa Timur, ketika itu Yesus sedang bermain. Tiba-tiba datang dua orang malaikat. Pasti Yesus terkejut. Ia segera lari ke pangkuan bunda-Nya untuk mohon perlindungan. Bunda Maria juga sempat terkejut sebelum mengetahui apa yang terjadi. Ada alasan yang kuat mengapa Yesus kecil terkejut ketika melihat dua malaikat tersebut. Utusan Tuhan itu memperlihatkan secara jelas salib, paku-paku, lembing dan bunga karang yang penuh cuka dan empedu. barang-barang ini, seperti kita ketahui, kelak akan menjadi alat kesengsaraan Yesus ketika Ia memikul salib dan wafat di Kalvari. Sebagai anak kecil Yesus ketakutan. Ia merasa ngeri. Karena itu Ia memeluk Maria. Jari-jari-Nya gemetar dalam genggaman Bunda Maria yang aman. Dengan penuh kasih keibuan, Bunda Maria merapatkan Kanak-kanak Yesus lebih dekat ke tubuhnya. Dalam pelukan Maria, Yesus merasa aman.

Kawan pemilik lukisan sangat menyukai lukisan Bunda Penolong Abadi; ia menyimpannya. Malam hari Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dalam suatu mimpi. Bunda Maria mengingatkannya untuk melaksanakan pesan kawannya sebelum meninggal, yaitu menyerahkan lukisan kepada gereja. Mimpinya disampaikan kepada isterinya, tetapi mereka masih tetap menyimpannya. Tak lama kemudian ia pun meninggal. Ia telah berpesan kepada isterinya untuk menyerahkan lukisan ke gereja. Namun demikian isterinya bertekad untuk tetap menyimpannya. Bunda Maria kembali mengingatkan keluarga itu melalui anak gadisnya, "Ibu, aku melihat seorang wanita yang amat cantik. Ia berkata kepadaku, 'katakan kepada ibumu, Bunda Penolong Abadi minta supaya lukisan dirinya ditempatkan di salah satu gereja.'

Akhirnya lukisan diserahkan ke Gereja St. Alfonsus di Roma dan disimpan disana selama kurang lebih 300 tahun. Selama itu pula tempat tersebut menjadi terkenal karena mukjizat-mukjizat yang terjadi. Pada tahun 1798, di jaman Napoleon berkuasa, para imam diusir. Salah seorang imam sempat menyimpan lukisan Bunda Penolong Abadi di sebuah kapel kecil dan lukisan itu pun terlupakan selama 70 tahun.

Seorang bruder tua masih ingat riwayat lukisan itu. Ia menceritakannya kepada seorang anak kecil yang kemudian menjadi seorang imam Redemptoris. Ia menceritakannya pula kepada sesama imam hingga akhirnya berita ini terdengar juga oleh Paus. Paus memerintahkan agar lukisan tersebut diperlihatkan dan dihormati. Pada tahun 1866 lukisan Maria Penolong Abadi ditempatkan kembali secara resmi di Gereja St. Alfonsus, Roma .

Lukisan Maria Penolong Abadi yang asli dilukis di atas kayu. Usianya kira-kira 500 tahun. Paus Pius IX berpesan kepada para imam Redemptoris, "Perkenalkanlah dia ke seluruh dunia". Sejak itu lukisan Maria Penolong Abadi diperbanyak dan duplikatnya disebarkan ke seluruh dunia. Konsili Vatikan II dalam salah satu butir penghormatan kepada Maria memberikan nama Penolong Abadi (Perpetual Help). Pertimbangannya ialah karena nama itu secara ajaib menonjolkan dan menekankan pengasuhan keibuan yang dilakukan Maria terhadap Gereja yang kini masih berjuang di dunia.

Doa Novena

BUNDA PENOLONG ABADI
DOAKANLAH KAMI

Bunda Penolong Abadi, dengan penuh kepercayaan dan harapan kami berlutut di hadapanmu.
Belum pernah ada orang yang sia-sia mencari perlindunganmu.
Semasa hidupmu sebagai ibu, engkau seringkali memberi pertolongan kepada Yesus Puteramu.
Dengan penuh kasih sayang engkau melindungi dan membimbing-Nya selama masa muda-Nya.
Selama hidup-Nya di muka umum engkau menghibur-Nya dan memberi dorongan kepada-Nya.
Pada saat Dia menderita, engkau mendampingi dan menguatkan-Nya.
Demikian juga jadilah bagi kami seorang ibu yang selalu menolong kami.

Bunda Maria, kami ini juga anakmu.
Di kayu salib, Putera Ilahimu telah memberikan dikau sebagai bunda kami
dan engkau telah menerima kami sebagai anakmu.
Kami tahu engkau memberi anak-anakmu -khususnya mereka yang menghormatimu sebagai
Bunda Penolong Abadi- rahmat dan berkat yang tak terhitung banyaknya untuk jiwa raga mereka.
Dengan penuh syukur kami mengucapkan terima kasih untuk segala perlindungan
bagi kami dan bagi mereka semua.

Bunda Penolong Abadi, jangan biarkan kami sekarang pergi tanpa penghiburanmu.
Kami selalu memerlukan bantuanmu, teristimewa dalam kesulitan yang sekarang ini kami alami .....
Bunda Maria pandanglah kami dengan penuh kebaikan dan kasih sayang.
Jadilah perantara kepada Putera Ilahimu untuk memperoleh anugerah-anugerah ......
yang kami mohon dengan sangat dalam doa ini.
Kami berjanji akan berterima kasih kepadamu selama hidup kami,
sampai kami datang bersyukur kepadamu di surga.

Bunda yang berkuasa, baik bagi kami,
Engkau dapat menolong kami,
Engkau pasti berkenan menolong kami,
Engkau bersedia menolong kami,
O Bunda Penolong Abadi yang setia,
terimalah doa kami. Amin.

sumber : AVE MARIA No. 9 Juli 1997; diterbitkan oleh Marian Centre Indonesia

Maria Bunda Penolong Abadi

Santa Perawan Maria Bunda Penolong Abadi

oleh: P. William P. Saunders *

Bagaimanakah kisah yang melatarbelakangi lukisan Bunda Penolong Abadi?
~ seorang pembaca di Reston

Lukisan Bunda Penolong Abadi adalah sebuah ikon, dilukis di atas kayu dan tampaknya berasal dari sekitar abad ketigabelas. Ikon ini (kurang lebih 54 x 41,5 sentimeter) menggambarkan Bunda Maria, di bawah gelar “Bunda Allah,” menggendong Kanak-Kanak Yesus. Malaikat Agung St Mikhael dan Malaikat Agung St Gabriel, melayang di kedua pojok atas, memegang alat-alat Sengsara - St Mikhael (di pojok kiri) memegang tombak, bunga karang yang dicelupkan ke dalam anggur asam dan mahkota duri, sementara St Gabriel (di pojok kanan) memegang salib dan paku-paku. Tujuan dari sang pelukis adalah menggambarkan Kanak-Kanak Yesus menyaksikan penglihatan akan Sengsara-Nya di masa mendatang. Kegentaran yang dirasakan-Nya diperlihatkan melalui terlepasnya salah satu sandal-Nya. Namun demikian, ikon ini juga menyampaikan kemenangan Kristus atas dosa dan maut, yang dilambangkan dengan latar belakang keemasan (lambang kemuliaan kebangkitan) dan dari cara dengan mana para malaikat memegang alat-alat siksa, yaitu bagaikan memegang tanda kenang-kenangan yang dikumpulkan dari Kalvari pada pagi Paskah.

Dengan suatu cara yang amat indah, Kanak-kanak Yesus menggenggam erat tangan Bunda Maria. Ia mencari penghiburan dari BundaNya, sementara Ia melihat alat-alat sengsara-Nya. Posisi tangan Maria - keduanya memeluk Kanak-Kanak Yesus (yang tampak bagaikan seorang dewasa kecil) dan memberikan-Nya kepada kita - menyampaikan realita akan inkarnasi Tuhan kita, bahwa ia adalah sungguh Allah yang juga menjadi sungguh manusia. Dalam ikonografi, Bunda Maria di sini digambarkan sebagai Hodighitria, yaitu dia yang menghantar kita kepada sang Penebus. Ia adalah juga Penolong kita, yang menjadi perantara kita kepada Putranya. Bintang yang terlukis pada kerudung Maria, yang terletak di tengah atas dahinya, menegaskan peran Maria dalam rencana keselamatan baik sebagai Bunda Allah maupun Bunda kita.

Menurut tradisi, seorang saudagar mendapatkan ikon Bunda Penolong Abadi dari pulau Krete dan mengirimkannya ke Roma dengan kapal laut menjelang akhir abad kelimabelas. Dalam perjalanan, mengamuklah suatu badai dahsyat, yang mengancam nyawa mereka semua yang berada dalam kapal. Para penumpang bersama awak kapal berdoa memohon bantuan Bunda Maria, dan mereka diselamatkan.

Begitu tiba di Roma, sang saudagar yang menghadapi ajal, memerintahkan agar lukisan dipertontonkan agar dapat dihormati secara publik. Sahabatnya, yang menahan lukisan tersebut, menerima perintah berikutnya: dalam suatu mimpi kepada gadis kecilnya, Bunda Maria menampakkan diri dan menyatakan keinginannya agar lukisan dihormati di sebuah gereja antara Basilika St Maria Maggiore dan St Yohanes Lateran di Roma. Sebab itu, lukisan ditempatkan di Gereja St Matius, dan kemudian terkenal sebagai “Madonna dari St Matius.” Para peziarah berduyun-duyun datang ke gereja tersebut selama tiga ratus tahun berikutnya, dan rahmat berlimpah dicurahkan atas umat beriman.

Setelah pasukan Napoleon menghancurkan Gereja St Matius pada tahun 1812, lukisan dipindahkan ke Gereja St Maria di Posterula, dan disimpan di sana hingga hampir 40 tahun lamanya. Di sana, lukisan itu kemudian diabaikan dan dilupakan.

Oleh karena penyelenggaraan ilahi, lukisan diketemukan kembali. Pada tahun 1866, Beato Paus Pius IX mempercayakan lukisan kepada kaum Redemptoris, yang baru saja mendirikan Gereja St Alfonsus, tak jauh dari St Maria Maggiore. Semasa kanak-kanak, Bapa Suci berdoa di hadapan lukisan ini di Gereja St Matius. Beliau memerintahkan agar lukisan dipertontonkan kepada publik dan dihormati; beliau juga menetapkan perayaan Santa Perawan Maria Bunda Penolong Abadi pada hari Minggu sebelum Hari Raya Kelahiran St Yohanes Pembaptis. Pada tahun 1867, ketika lukisan sedang dibawa dalam suatu perarakan yang khidmad melalui jalan-jalan, seorang kanak-kanak disembuhkan secara ajaib, yang pertama dari banyak mukjizat yang kemudian dicatat sehubungan dengan Bunda Penolong Abadi.

Hingga hari ini, Gereja St Alfonsus mempertontonkan ikon Bunda Penolong Abadi dan menyambut segenap peziarah yang datang untuk berdoa. Kiranya setiap kita tidak pernah ragu untuk memohon bantuan doa dan perantaraan Bunda Maria kapan saja, teristimewa pada masa kesesakan.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Icon Invokes Mary's `Perpetual Help'” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Maria Bunda Pengharapan

Santa Perawan Maria Bunda Pengharapan

oleh: P. William P. Saunders *

Mohon penjelasan mengenai latar belakang gelar Bunda Maria sebagai “Bunda Pengharapan”
~ seorang pembaca di Sterling

Gelar Bunda Maria sebagai “Bunda Pengharapan,” muncul dari penampakannya kepada beberapa anak di Pontmain, Perancis pada tanggal 17 Januari 1871. Patut dicatat bahwa Bunda Maria telah disebut dengan gelar ini sebelumnya; sebuah madah telah ditulis demi menghormati Bunda Pengharapan oleh Komunitas Agung dari Bunda Pengharapan di Saint-Brieuc, Perancis. Namun demikian, devosi yang paling populer kepada “Bunda Pengharapan” berhubungan dengan penampakan ini. Guna memahami kisah dengan sebaik-baiknya, pertama-tama kita perlu melihat latar belakangnya.

Pada tahun 1861, Kaiser Wilhelm I menduduki tahta Prussia, dan segera menunjuk Otto von Bismark sebagai penasehatnya. Tujuan mereka adalah mempersatukan segenap negeri yang berbahasa Jerman menjadi satu negara. Bersama-sama, mereka mengambil sikap yang agresif dan suka berperang. Guna memaksakan kehendak mereka sekaligus menguji posisi di antara negara-negara sekitarnya, Prussia menyulut tiga perang singkat: pertama, melawan Denmark pada tahun 1864, menguasai Holstein; kedua, melawan Austria pada tahun 1866, menempatkan Prussia di bawah kendali Jerman; dan yang terakhir, melawan Perancis pada tahun 1870.

Pada tanggal 1 Agustus 1870, meriam pertama ditembakkan dan Perang Perancis - Prussia pun dimulai. Pasukan Perancis dengan segera jatuh ke dalam kekuasaan militer Prussia. Pada tanggal 27 Desember, Prussia telah menyerbu Paris. Sekarang mereka mengarah ke provinsi-provinsi barat yaitu Normandy dan Brittany.

Pertengahan Januari 1871, pasukan Prussia hanya beberapa mil saja jauhnya dari kota Pontmain, yang terletak di sebelah kanan dalam garis pertahanan Perancis. Penduduk Pontmain ketakutan. P. Guerin, yang telah menjadi imam paroki selama 35 tahun, meminta anak-anak untuk berdoa kepada Bunda Maria memohon perlindungan.

Pada sore hari Selasa, 17 Januari, Eugene Barbadette yang berusia 12 tahun sedang berjalan meninggalkan kandang ayahnya. Anak laki-laki ini mendongak ke atas ke langit yang berbintang dan melihat seorang Perempuan nan elok berdiri di angkasa, sekitar 20 kaki di atas atap rumah, di antara dua cerobong asap rumah milik Jean dan Augustine Guidecoq yang ada di seberang jalan. Perempuan itu mengenakan gaun berwarna biru tua bertaburan bintang-bintang emas, sebuah kerudung hitam dan sebuah mahkota emas sederhana. Eugene berdiri terpesona di sana dalam dinginnya salju sekitar 15 menit lamanya.

Ayahnya dan saudara laki-lakinya yang berumur sepuluh tahun, Yosef, keluar dari kandang. Eugene berseru, “Lihat di sana! Di atas rumah! Apakah yang kalian lihat?” Yosef menggambarkan Perempuan itu persis sama seperti yang dilihat Eugene. Ayahnya tidak melihat apa-apa, jadi dengan geram ia memerintahkan anak-anak untuk kembali memberi makan kuda-kuda di kandang.

Entah apa alasannya, sejenak kemudian, sang ayah menyuruh kakak beradik itu untuk keluar dan melihat kembali. Mereka melihatnya lagi. Yosef terus-menerus mengatakan, “Alangkah cantiknya dia! Alangkah cantiknya!” Ibu mereka, Victoria Barbadette, sekarang muncul di sana dan menyuruh Yosef diam sebab ia begitu ribut hingga menarik perhatian orang. Tahu bahwa anak-anak itu jujur dan tidak berbohong, ibunya pun mengatakan, “Mungkin itu Santa Perawan yang menampakkan diri kepada kalian. Karena kalian melihatnya, marilah kita mendaraskan lima Bapa Kami dan lima Salam Maria demi menghormatinya.” (Kedua kakak beradik itu amat saleh: mereka memulai hari-hari mereka dengan melayani Misa Kudus, mendaraskan rosario dan mempersembahkan Jalan Salib dengan intensi kakak laki-laki mereka yang bertugas dalam dinas ketentaraan Perancis.)

Setelah mendaraskan doa-doa di dalam kandang agar tak menarik perhatian orang, Nyonya Barbadette bertanya apakah anak-anak masih melihat Perempuan itu. Ketika mereka menjawab, “Ya,” ia pergi mengambil kacamata. Ketika kembali, sang ibu membawa serta saudari mereka, Louise, bersamanya; namun tak seorang pun dari keduanya melihat apa-apa. Perangai sang ibu pun berubah dan ia menuduh kedua anaknya telah berbohong.

Terlintas dalam benak Nyonya Barbadette untuk memanggil para biarawati. Katanya, “Para biarawati lebih saleh dari kalian. Jika kalian melihatnya, tentulah mereka melihatnya juga.” Suster Vitaline juga tahu bahwa anak-anak itu tidak berbohong. Tetapi, ia pun tak dapat melihat Perempuan itu. Suster Vitaline kemudian pergi ke rumah tetangga dan meminta dua gadis kecil, Francoise Richer (berusia 11 tahun) dan Jeanne-Marie Lebosse (berusia 9 tahun) untuk datang bersamanya. Kedua gadis kecil itu menggambarkan sang Perempuan tepat sama seperti kedua anak lainnya.

Sekarang, Suster Marie Edouard telah bergabung dalam kelompok tersebut. Setelah mendengar apa yang dikatakan kedua gadis kecil, ia pergi memanggil P Guerin dan seorang anak lain, Eugene Friteau (berusia 6 setengah tahun). Eugene juga melihat sang Perempuan. Sekarang telah terkumpul suatu himpunan besar sekitar 50 orang warga desa. Augustine Boitin, yang baru berusia 25 bulan, menggapai sang Perempuan dan berseru, “Yesus! Yesus!” Hanya keenam kanak-kanak ini saja yang melihat penampakan Bunda Pengharapan.

P Guerin meminta semua yang hadir untuk berdoa, maka mereka berlutut dan mendaraskan rosario. Suster Marie Edouard memimpin himpunan umat untuk mendaraskan Magnificat. Perlahan-lahan, suatu pesan dalam huruf-huruf emas nampak di langit: “Tetapi, berdoalah anak-anakku.” Semua anak-anak melihat pesan yang sama.

Suster Marie Edouard kemudian memimpin yang lainnya memadahkan Litani Santa Perawan Maria. Pesan selanjutnya disingkapkan, “Tuhan akan mendengarkan kalian dalam waktu dekat.”

Datang kabar bahwa pasukan Prussia sekarang telah berada di Laval, sangat dekat dengan Pontmain. Pesan berlanjut, “Putraku membiarkan DiriNya tergerak oleh belas kasihan.” Ketika anak-anak memaklumkan pesan ini, P Guerin meminta khalayak ramai untuk menyanyikan madah pujian. Suster Marie Edouard mengatakan, “Bunda Pengharapan, wahai nama yang begitu manis, lindungilah negeri kami, doakanlah kami, doakanlah kami!” Orang banyak menanggapi, “Jika mereka [Prussia] berada di gerbang masuk desa, kami tidak akan takut lagi sekarang!”

Di akhir madah, pesan menghilang. Himpunan orang banyak kemudian menyanyikan sebuah madah tobat dan silih kepada Yesus. Bunda Maria tampak berduka, ia memegang sebuah salib merah yang besar dengan tulisan “Yesus Kristus.”

Pada pukul 8.30 petang, orang banyak menyanyikan, “Ave, Maris Stella,” dan salib lenyap. Lagi, Bunda tersenyum dan dua salib putih kecil nampak di kedua pundaknya. Ia merentangkan tangannya ke bawah, seperti yang terlihat dalam gambar-gambar Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa. Sebuah selubung putih secara perlahan-lahan menutupi Bunda Maria dari kaki hingga ke mahkota. Sekitar pukul 8.45 petang, anak-anak mengatakan, “Sudah selesai.” Bunda Maria telah menghilang.

Sementara penampakan ini berlangsung, Jenderal Von Schmidt menerima perintah dari Komando Tinggi Prussia untuk menghentikan penyerangan dan mundur. Sepuluh hari kemudian, suatu perjanjian gencatan senjata ditanda-tangani antara Perancis dan Prussia. Perantaraan ajaib Bunda Maria telah menyelamatkan Pontmain.

Karena penampakan ini, devosi kepada Bunda Pengharapan segera tersebar luas. Pesan Bunda Maria adalah pesan pengharapan, “Tetapi, berdoalah anak-anakku. Tuhan akan mendengarkan kalian dalam waktu dekat. Putraku membiarkan DiriNya tergerak oleh belas kasihan.” Sementara kita mendaraskan rosario kita setiap hari memohon pemeliharaan keibuan Bunda Maria, patutlah kita ingat bahwa ia, yang berdiri di kaki salib, yang dipenuhi pengharapan akan pengampunan dosa dan kebangkitan ke hidup yang kekal, memberikan pengharapan kepada kita juga sepanjang perjalanan hidup kita. Bersama Bunda Pengharapan, kita sungguh memiliki jaminan bahwa kita tidak akan pernah ditinggalkan, dan bahwa kita senantiasa memiliki pengharapan akan dipersatukan dengan Tuhan kita sekarang dan selama-lamanya di surga.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Mary as Our Lady of Hope” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Dukacita Ketujuh

Yesus Dimakamkan

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Ketika seorang ibu berada di samping anaknya yang sedang menderita dan mengalami sakrat maut, tak diragukan lagi ia merasakan dan menanggung segala penderitaan anaknya; tetapi setelah anaknya itu meninggal dunia, sebelum jenazahnya dihantar ke makam, pastilah ibunda yang berduka itu mengucapkan selamat berpisah kepada anaknya; dan kemudian, sungguh, pikiran bahwa ia tak akan pernah melihat anaknya itu lagi merupakan suatu dukacita yang melampaui segala dukacita. Lihatlah pedang dukacita Maria yang terakhir, yang sekarang kita renungkan; setelah menyaksikan wafat Putranya di salib dan memeluk tubuh-Nya yang tak bernyawa untuk terakhir kalinya, Bunda yang terberkati ini harus meninggalkan-Nya di makam, tak akan lagi pernah menikmati kehadiran Putranya yang terkasih di dunia ini.

Agar dapat memahami dengan lebih baik dukacita terakhir ini, kita akan kembali ke Kalvari dan merenungkan Bunda yang berduka, yang masih mendekap tubuh Putranya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Oh Putraku, demikian ia berkata dengan kata-kata Ayub, Putraku, “Engkau menjadi kejam terhadap aku.” Ya, oleh sebab segala sifat-Mu yang agung, keanggunan-Mu, perilaku-Mu dan kebajikan-kebajikan-Mu, sikap-Mu yang santun, segala tanda kasih istimewa yang Kau limpahkan kepadaku, karunia-karunia khusus yang Kau anugerahkan kepadaku - semuanya sekarang berubah menjadi dukacita, dan bagaikan begitu banyak anak panah yang menembusi hatiku; semakin semuanya itu memperdalam kasihku kepada-Mu, semakin kejam semuanya itu kini memedihkan hatiku karena kehilangan Engkau. Ah, Putraku terkasih, dengan kehilangan Engkau, aku kehilangan segalanya. St Bernardus berbicara atas nama Bunda Maria, “Oh satu-satunya Allah yang Esa, bagiku Engkau adalah Bapaku, Putraku, Mempelaiku: Engkau adalah jiwaku! Sekarang aku direnggut dari Bapaku, menjadi janda dari Mempelaiku, menjadi Bunda yang tak ber-Putra; yang merana karena kehilangan Putra tunggalku, aku telah kehilangan segalanya.”

Demikianlah Bunda Maria, dengan sang Putra dalam pelukannya, larut dalam dukacita. Para murid yang kudus, khawatir kalau-kalau Bunda yang malang ini wafat karena duka yang mendalam, menghampirinya untuk mengambil jenazah Putranya dari pelukannya untuk dimakamkan. Kekejaman ini mereka lakukan dengan lemah lembut serta penuh hormat, dan sesudah memburat tubuh-Nya dengan rempah-rempah, mereka mengapani-Nya dengan kain lenan yang telah mereka persiapkan. Di atas kain ini, yang hingga kini masih tersimpan di Turin, Kristus berkenan meninggalkan bagi dunia gambar tubuh-Nya yang kudus. Para murid lalu menghantar-Nya ke makam. Pertama-tama mereka mengusung Tubuh Kudus di atas bahu mereka dan kemudian iring-iringan duka itu pun berangkat; paduan suara malaikat dari surga mengiringi mereka; para wanita kudus berjalan mengikuti, dan bersama mereka Bunda yang berduka juga menyertai Putranya ke tempat pemakaman. Setiba mereka di sana, “Oh, betapa senang hati Bunda Maria membiarkan dirinya dikubur hidup-hidup bersama Putranya, andai memang demikian kehendak-Nya!” seperti diungkapkan Bunda Maria sendiri kepada St Brigitta. Tetapi karena bukan demikianlah kehendak Ilahi, banyak penulis mengatakan bahwa ia menghantar tubuh kudus Yesus sampai ke makam, di mana menurut Baronius, para murid juga menyertakan paku-paku dan mahkota duri. Saat hendak menggulingkan batu penutup pintu masuk, para murid sang Juruselamat yang kudus terpaksa menghampiri Bunda Maria dan mengatakan, “Sekarang, ya Bunda, kami harus menutup pintu makam: maafkan kami, tengoklah sekali lagi Putramu dan sampaikanlah salam perpisahan kepada-Nya.” Putraku terkasih (pasti demikianlah Bunda yang berduka berkata); aku tak kan melihat-Mu lagi. Sebab itu, pada kesempatan terakhir aku memandang-Mu ini, terimalah salam perpisahanku, salam perpisahan dari Bunda-Mu terkasih, dan terimalah juga hatiku, yang aku tinggalkan agar dikubur bersama-Mu. St Fulgentius menulis, “Dalam diri Bunda Maria berkobar hasrat agar jiwanya dikuburkan bersama tubuh Kristus.” Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta, “Sejujurnya aku katakan bahwa saat pemakaman Putraku, dalam makam yang satu itu seolah-olah terdapat dua jiwa.”

Akhirnya, para murid menggulingkan batu dan menutup makam yang kudus, di mana di dalamnya terbaring tubuh Yesus, harta pusaka yang agung mulia - begitu agung dan mulia hingga tak ada yang lebih agung dan mulia darinya, baik di bumi maupun di surga. Pada bagian ini, ijinkanlah aku sedikit menyimpang dan menegaskan bahwa hati Bunda Maria dikuburkan bersama Yesus, sebab Yesus adalah satu-satunya hartanya, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dan di manakah gerangan, seandainya kita boleh bertanya, hati kita dikuburkan? Pada makhluk-makhluk ciptaan yang mungkin berkubang dalam lumpur. Dan mengapakah tidak pada Yesus, yang, walaupun telah naik ke surga masih dengan senang hati tinggal di bumi dalam Sakramen Mahakudus di altar, bukankah tepat jika jiwa kita ada bersama-Nya, dan menjadi milik-Nya? Baiklah, kita kembali kepada Bunda Maria. Sebelum meninggalkan makam, menurut St Bonaventura, Bunda Maria memberkati makam kudus yang kini telah tertutup rapat dengan berseru, “Oh, makam yang bahagia, dalam rahimmu sekarang terbaring Tubuh Kudus yang selama sembilan bulan aku kandung dalam rahimku; aku memberkati engkau sembari iri padamu; aku percayakan penjagaan Putraku kepadamu, Putra yang adalah satu-satunya hartaku dan kasihku.” Kemudian, dengan mengangkat segenap hati kepada Bapa yang Kekal, ia berkata, “Ya Bapa, kepada-Mu aku persembahkan Dia - Dia yang adalah PutraMu, yang sekaligus adalah Putraku juga.” Demikianlah Bunda Maria menyampaikan salam perpisahannya kepada Putranya Yesus yang terkasih dan kepada makam di mana tubuh-Nya dibaringkan, lalu ia meninggalkan-Nya dan pulang ke rumah. “Bunda ini,” kata St Bernardus, “pergi dalam keadaan begitu berduka dan sengsara hingga ia menggerakkan banyak orang untuk meneteskan airmata; di manapun ia lewat, semua yang bersua dengannya menangis,” tak kuasa menahan airmata. Ia menambahkan bahwa para murid yang kudus dan perempuan-perempuan yang menyertainya “lebih berdukacita atasnya daripada atas Tuhan mereka.”

St Bonaventura mengatakan bahwa saudari-saudari Bunda Maria menyelubunginya dengan jubah duka, “Saudari-saudari Bunda kita mengerudunginya sebagai janda, hingga hampir menutupi seluruh wajahnya.” Ia juga menambahkan bahwa, saat lewat, dalam perjalanan pulang, di depan salib yang masih basah oleh darah Putranya Yesus, dialah yang pertama-tama memujanya, “O Salib Suci,” serunya, “aku mengecupmu, aku memujamu, sebab kini engkau bukan lagi tiang hukuman yang mengerikan, melainkan tahta kasih dan altar belas kasihan, yang dikuduskan oleh darah Anak Domba Allah, yang di atasmu telah dikurbankan demi keselamatan dunia.” Bunda Maria kemudian meninggalkan salib dan pulang ke rumah. Tiba di sana, Bunda yang berduka mengarahkan pandangan ke sekelilingnya, ia tak lagi melihat Yesus; bukan kehadiran Putranya yang menyenangkan, melainkan kenangan akan hidup-Nya yang kudus dan wafat-Nya yang keji yang hadir di hadapan matanya. Ia terkenang bagaimana ia mendekap Putranya erat-erat ke dadanya di palungan di Betlehem; percakapan-percakapan manis bersama-Nya sepanjang tahun-tahun yang mereka lewatkan bersama di rumah di Nazaret: ia terkenang akan kasih sayang mesra di antara mereka, tatapan kasih mereka, perkataan-perkataan tentang kehidupan kekal yang meluncur dari bibir Ilahi-Nya; dan kemudian terbayang akan peristiwa mengerikan yang ia saksikan pada hari itu, semuanya hadir kembali di hadapannya. Paku-paku itu, mahkota duri, ceceran daging Putranya, luka-luka yang merobek daging-Nya, tulang-tulang yang menyembul, mulut yang ternganga, mata yang tak lagi bercahaya, semuanya hadir kembali di hadapan matanya. Ah, betapa malam itu nerupakan malam yang penuh dukacita bagi Maria! Bunda yang berduka berpaling kepada St Yohanes dan berkata dengan sedih, “Ah Yohanes, katakan, di manakah Guru-mu?” Ia kemudian bertanya kepada Maria Magdalena, “Puteriku, katakan, di manakah kekasih hatimu? Ya Tuhan, siapakah yang telah merenggut-Nya dari kami?” Bunda Maria menangis dan semua yang hadir menangis bersamanya. Dan engkau, wahai jiwaku, tidak meneteskan airmata! Ah, berpalinglah kepada Bunda Maria dan bersama St Bonaventura katakan kepadanya, “Ya, Bundaku yang lemah lembut, ijinkanlah aku menangis; engkau tak berdosa, akulah yang berdosa.” Akhirnya, mohonlah kepadanya untuk menangis bersamanya, “Ijinkanlah aku menangis bersamamu, ya Bunda.” Ia menangis karena cinta, engkau menangis sedih karena dosa-dosamu. Dengan menangis, kiranya engkau beroleh sukacita seperti dia, yang kisahnya kita baca dalam teladan berikut.

TELADAN

Pastor Engelgrave menceriterakan tentang seorang religius yang begitu tersiksa oleh skrupel (= kebimbangan batin) hingga ia terkadang hampir putus asa; tetapi karena ia memiliki devosi mendalam kepada Bunda Dukacita, ia senantiasa mohon perlindungan padanya dalam penderitaan batinnya, dan merasa terhibur sementara ia merenungkan sengsaranya. Ajal menjelang dan iblis menyiksanya jauh lebih hebat dari sebelumnya dengan skrupel, dan berusaha menjatuhkannya dalam keputusasaan. Bunda yang berbelas kasihan, melihat puteranya yang malang menderita demikian rupa, menampakkan diri kepadanya dan berkata, “Dan engkau, puteraku, mengapakah engkau begitu dikuasai oleh penderitaan? Mengapakah engkau begitu takut? Engkau telah begitu sering menghibur hatiku dengan berbelas kasihan dalam dukacitaku. Sekarang,” Bunda Maria menambahkan, “Yesus mengutusku untuk menghiburmu; maka, tenanglah; bersukacitalah dan marilah bersamaku ke surga.” Mendengar kata-kata penghiburan ini, religius yang saleh itu dengan dipenuhi sukacita dan kepercayaan, menghembuskan napasnya yang terakhir dalam damai.

DOA

Bundaku yang berduka, aku tidak akan membiarkan engkau menangis seorang diri, tidak, aku akan menemanimu dengan airmataku. Ijinkan aku mohon rahmat ini daripadamu: perolehkanlah bagiku rahmat agar senantiasa ada dalam benakku dan senantiasa ada dalam hatiku devosi kepada Sengsara Yesus dan kepada Dukacitamu, agar sisa-sisa hariku boleh aku lewatkan dengan menangisi dukacitamu, ya Bundaku yang lemah lembut, dan menangisi Sengsara Penebus-ku. Penderitaan-penderitaan ini, aku yakin, akan memberiku kepercayaan serta kekuatan yang aku butuhkan di saat ajalku, agar aku tidak jatuh dalam keputusasaan menyadari begitu banyak dosa di mana aku telah menghina Tuhan-ku. Penderitaan-penderitaan ini akan mendatangkan bagiku pengampunan, ketekunan dan surga, yang aku rindu untuk menikmatinya bersama engkau, dan agar dapatlah aku memadahkan belas kasihan Allah yang tak terbatas untuk selama-lamanya. Demikianlah yang aku harapkan, semoga terjadilah demikian. Amin. Amin.

DOA ST BONAVENTURA

Ya Bunda, engkau yang dengan kelemah-lembutanmu menjerat hati umat manusia, sudahkah engkau menjerat hatiku juga? Ya pencuri hati, bilakah engkau memulihkan hatiku? Pimpinlah dan kuasailah hatiku bagaikan milikmu sendiri; simpanlah hatiku dalam Darah Anak Domba dan tempatkanlah di sisi Putramu. Maka, aku akan memperoleh apa yang aku rindukan dan memiliki apa yang aku harapkan, sebab engkaulah harapan kami. Amin.

sumber : "On the Seventh Dolour, The Burial of Jesus" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org
Dukacita Keenam

Lambung Yesus Ditikam dan Jenazah-Nya Diturunkan dari Salib

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

“Acuh tak acuhkan kamu sekalian yang berlalu? Pandanglah dan lihatlah, apakah ada kesedihan seperti kesedihan yang ditimpakan Tuhan kepadaku?” Jiwa-jiwa saleh, dengarkanlah apa yang dikatakan Bunda yang berduka hari ini, “Anak-anakku terkasih, aku tidak berharap kalian menghiburku; tidak, sebab jiwaku tak lagi mudah tersentuh oleh penghiburan di dunia ini setelah wafat Putraku Yesus yang terkasih. Jika engkau hendak menyenangkan hatiku, inilah yang aku minta dari kalian; pandanglah aku dan lihatlah adakah kesedihan di dunia ini yang seperti kesedihanku, menyaksikan Dia yang adalah jantung hatiku direnggut dariku dengan keji.” Tetapi, Bunda yang berkuasa, oleh sebab engkau tidak hendak dihibur dan engkau memiliki kerinduan yang begitu besar untuk menderita, harus kukatakan kepadamu, bahwa bahkan dengan wafatnya Putramu, dukacitamu belumlah berakhir. Pada hari ini engkau akan ditembusi oleh pedang dukacita yang lain, sebilah tombak dengan keji akan ditikamkan pada lambung Putramu yang telah wafat, dan engkau akan menerima-Nya dalam pelukanmu setelah jenazah-Nya diturunkan dari salib. Sekarang kita akan merenungkan dukacita keenam yang mendukakan Bunda yang malang ini. Merenunglah dan menangislah. Sampai sekarang dukacita Maria menderanya satu demi satu; pada hari ini seluruh dukacita itu bergabung menjadi satu untuk menyerangnya.

Cukuplah mengatakan kepada seorang ibu bahwa anaknya meninggal dunia untuk menggoncangkan segala kasihnya. Sebagian orang, guna meringankan dukacita seorang ibu, mengingatkannya akan kekecewaan yang suatu ketika dilakukan oleh anaknya yang telah meninggal itu. Tetapi aku, ya Ratuku, akankah aku berharap meringankan dukacitamu atas wafat Yesus? Kekecewaan apakah yang pernah dilakukan-Nya terhadapmu? Sungguh, tidak ada. Ia senantiasa mengasihimu, senantiasa mentaatimu, dan senantiasa menghormatimu. Sekarang engkau telah kehilangan Dia, siapakah yang dapat mengungkapkan kesedihan hatimu? Akankah engkau menjelaskannya, engkau yang mengalaminya. Seorang penulis yang saleh mengatakan bahwa ketika Penebus kita yang terkasih wafat, perhatian utama Bunda yang agung ini adalah menemani dalam roh, jiwa Putranya yang terkudus dan mempersembahkan-Nya kepada Bapa yang Kekal. “Kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhanku,” pastilah Bunda Maria berkata demikian, “jiwa tak berdosa dari PutraMu dan Putraku; Ia taat hingga wafat kepada-Mu; sudilah Engkau menerima-Nya dalam pelukan-Mu. Keadilan-Mu telah dipuaskan sekarang, kehendak-Mu telah digenapi; lihatlah, kurban agung demi kemuliaan-Mu yang kekal telah dikurbankan.” Kemudian, sambil memandangi tubuh Putranya Yesus yang tak bernyawa, ia berkata, “O bilur-bilur, o bilur-bilur cinta, aku menyembahmu, dan dalam engkau aku bersukacita; sebab melalui engkau, keselamatan dianugerahkan kepada dunia. Engkau akan tinggal menganga pada tubuh Putraku, dan menjadi pengungsian bagi mereka yang mohon perlindungan padamu. Oh, betapa banyak jiwa-jiwa, melalui engkau akan beroleh rahmat pengampunan atas dosa-dosa mereka, dan olehmu dikobarkan dalam kasih kepada Allah yang Mahabaik!”

Agar tak mengganggu kegembiraan Sabat Paskah, orang-orang Yahudi menghendaki agar tubuh Yesus diturunkan dari salib; tetapi, karena hal ini tak dapat dilakukan kecuali para terhukum telah mati, para prajurit datang dengan palu besi untuk mematahkan kaki-Nya, seperti yang telah mereka lakukan pada dua penyamun yang disalibkan bersama-Nya. Bunda Maria masih menangisi kematian Putranya saat ia melihat prajurit-prajurit bersenjata ini maju mendekati Yesus. Melihat ini, Bunda gemetar ketakukan, lalu berseru, “Ah, Putraku sudah wafat; berhentilah menganiaya-Nya; janganlah siksa aku lagi, Bunda-Nya yang malang.” Ia mohon pada mereka, tulis St Bonaventura, “untuk tidak mematahkan kaki-Nya.” Tetapi sementara ia berkata, ya Tuhan! Ia melihat seorang prajurit menghunus tombaknya dan menikamkannya pada lambung Yesus, “seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air.” Saat tombak dihujamkan, salib berguncang, dan, seperti yang kemudian dinyatakan kepada St Brigitta, hati Yesus terbelah menjadi dua. Dari sanalah mengalir darah dan air; sebab hanya sedikit tetes-tetes darah itu saja yang masih tersisa, dan bahkan itu pun rela dicurahkan oleh Juruselamat kita agar kita mengerti bahwa tak ada lagi darah-Nya yang masih tersisa yang tak diberikan-Nya kepada kita. Luka akibat tikaman itu menganga pada tubuh Yesus, tetapi Bunda Marialah yang menderita sakitnya. “Kristus,” kata Lanspergius yang saleh, “berbagi sengsara ini dengan Bunda-Nya; Ia yang menerima penghinaan, Bunda-Nya yang menanggung sengsaranya.” Para bapa kudus berpendapat bahwa inilah sesungguhnya pedang yang dinubuatkan Nabi Simeon kepada kepada Santa Perawan: suatu pedang, bukan pedang materiil, melainkan pedang dukacita, yang menembus jiwanya yang terberkati yang tinggal dalam hati Yesus, di mana ia senantiasa tinggal. Dengan demikian, St Bernardus mengatakan, “Tombak yang ditikamkan ke lambung-Nya menembus jiwa Santa Perawan yang tak pernah meninggalkan hati Putranya.” Bunda Allah sendiri mengungkapkan hal yang sama kepada St Brigitta, “Ketika tombak dicabut, ujungnya tampak merah karena darah; melihat hati Putraku terkasih ditikam, aku merasa seakan-akan hatiku sendiri juga ditikam.” Malaikat menyampaikan kepada santa yang sama, “begitu dahsyat dukacita Maria, hingga hanya karena mukjizat penyelenggaraan Ilahi, ia tidak mati.” Dalam dukacitanya yang lain, setidak-tidaknya ada Putranya yang berbelas kasihan kepadanya; tetapi sekarang Ia bahkan tak ada untuk berbelas kasihan kepadanya.

Bunda yang berduka, khawatir kalau-kalau aniaya yang lain masih akan ditimpakan atas Putranya, mohon pada Yusuf dari Arimatea untuk meminta jenazah Yesus Putranya dari Pilatus, hingga setidak-tidaknya setelah Ia wafat, ia dapat menjaga serta melindungi-Nya dari penghinaan lebih lanjut. Yusuf pergi dan menyampaikan kepada Pilatus kesedihan dan harapan Bunda yang berduka ini. St Anselmus yakin bahwa belas kasihan terhadap sang Bunda telah melunakkan hati Pilatus dan menggerakkannya untuk memberikan jenazah Juruselamat kita. Tubuh Yesus kemudian diturunkan dari salib. O Perawan tersuci, setelah engkau memberikan Putramu kepada dunia dengan cinta yang begitu besar demi keselamatan kami, lihatlah, dunia sekarang mengembalikan-Nya kepadamu; tetapi, ya Tuhan, dalam keadaan bagaimanakah engkau menerimanya? Ya dunia, kata Maria, bagaimana engkau mengembalikan-Nya kepadaku? “Putraku berkulit putih kemerah-merahan, tetapi engkau mengembalikan-Nya kepadaku dalam keadaan hitam lebam oleh bilur-bilur dan merah - ya! tetapi merah karena luka-luka yang engkau timpakan atas-Nya. Ia elok dan menawan; tetapi sekarang tak nampak lagi keelokan pada-Nya; tak ada lagi semarak-Nya. Kehadiran-Nya memikat semua orang; sekarang Ia menimbulkan kengerian pada semua yang melihat-Nya.” “Oh, betapa banyak pedang,” kata St Bonaventura, “yang menembusi jiwa Bunda yang malang ini ketika ia menerima jenazah Putranya dari salib! Marilah sejenak membayangkan dukacita mendalam yang dialami ibu manapun ketika menerima tubuh anaknya yang tak bernyawa dalam pelukannya. Dinyatakan kepada St Brigitta bahwa tiga tangga disandarkan pada salib untuk menurunkan Tubuh Kudus; para murid yang kudus pertama-tama mencabut paku-paku dari tangan dan kaki-Nya, dan menurut Metaphrastes, menyerahkan paku-paku itu kepada Maria. Kemudian seorang dari mereka menopang tubuh Yesus bagian atas sementara murid yang lain menopang tubuh Yesus bagian bawah; demikianlah Ia diturunkan dari salib. Bernardinus de Bustis menggambarkan Bunda yang berduka, sementara berdiri, merentangkan kedua tangannya untuk merengkuh Putranya terkasih; ia memeluk-Nya dan kemudian duduk bersimpuh di kaki salib. Mulut-Nya ternganga, mata-Nya tanpa cahaya. Bunda Maria lalu memeriksa daging-Nya yang terkoyak dan tulang-tulang-Nya yang menyembul; ia melepaskan mahkota duri dan memandangi luka-luka mengerikan yang diakibatkan mahkota duri pada kepala-Nya yang kudus; ia mengamati lubang-lubang di tangan dan kaki-Nya seraya berkata kepada-Nya, “Ah, Putraku, seberapa besarnyakah kasih-Mu kepada manusia; kesalahan apakah yang telah Engkau lakukan terhadap mereka hingga mereka menyiksa-Mu demikian keji? Engkau adalah Bapaku,” lanjut Bernardinus de Bustis atas nama Maria, “Engkau adalah saudaraku, mempelaiku, sukacitaku, kemuliaanku; Engkau adalah segala-galanya bagiku.” Putraku, tengoklah dukacitaku, pandanglah aku; hiburlah aku; tetapi tidak, Engkau tak lagi melihatku. Berbicaralah, sepatah kata saja, dan hiburlah aku; tetapi Engkau tak lagi berbicara, sebab Engkau telah wafat. Kemudian, berpaling pada alat-alat siksa yang keji, ia berkata, O mahkota duri yang keji, O paku-paku yang kejam, O tombak yang tak berbelas kasihan, bagaimanakah, bagaimana mungkin kalian menganiaya Pencipta-Mu? Tetapi, mengapakah aku berbicara tentang mahkota duri dan paku? Astaga! Para pendosa, serunya, kalianlah yang telah memperlakukan Putraku begitu keji.

Demikianlah Bunda Maria berbicara dan mengeluh atas kita. Tetapi apakah yang hendak ia katakan sekarang, apakah ia masih dapat tergerak oleh penderitaan? Bagaimanakah kiranya kesedihan hatinya melihat manusia, walaupun Putranya telah wafat bagi mereka, masih terus-menerus menyiksa dan menyalibkan-Nya dengan dosa-dosa mereka! Marilah kita, setidak-tidaknya, berhenti menyiksa Bunda yang berduka ini, dan jika kita sampai sekarang masih mendukakan hatinya dengan dosa-dosa kita, marilah kita, saat ini juga, melakukan segala yang dikehendakinya. Bunda kita berkata, “Kembalilah, kalian yang berdosa, kepada hati Yesus.” Para pendosa, kembalilah kepada hati Yesus yang terluka; kembalilah sebagai seorang peniten, dan Ia akan menyambutmu. “Larilah dari Dia kepada Dia,” ia melanjutkan perkataannya bersama Abbas Guarric, “dari Hakim kepada Penebus, dari Pengadilan kepada Salib.” Bunda Maria sendiri mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa “ia menutup mata Putranya ketika tubuh-Nya diturunkan dari salib, tetapi ia tak dapat menangkupkan tangan-tangan-Nya.” Dengan demikian Yesus Kristus ingin kita mengetahui bahwa Ia rindu tetap dengan tangan-tangan-Nya terbuka menerima semua orang berdosa yang kembali kepada-Nya. “Oh, dunia,” lanjut Bunda Maria, “lihatlah, masamu adalah masa bagi para kekasih.” “Sekarang, setelah Putraku wafat demi menyelamatkanmu, tak akan ada lagi bagimu masa ketakutan, melainkan masa kasih - suatu masa untuk mengasihi-Nya, Ia yang guna menunjukkan kasih-Nya kepadamu rela menanggung sengsara yang begitu hebat.” “Hati Yesus,” kata St Bernardus, “ditikam, agar melalui luka-luka-Nya yang nampak itu, luka-luka kasih-Nya yang tak nampak menjadi kelihatan.” “Jadi, jika,” Bunda Maria menyimpulkan dengan kata-kata Beato Raymond Jordano, “Putraku, oleh karena kasih-Nya yang begitu besar, rela lambung-Nya ditikam, agar Ia dapat memberikan hati-Nya kepada kalian, maka sudah selayaknyalah, jika kalian membalas-Nya dengan juga memberikan hati kalian kepada-Nya.” Dan jika kalian rindu, ya putera-puteri Maria, untuk menemukan tempat dalam hati Yesus, tanpa takut ditolak, “pergilah,” kata Ubertino da Casale, “pergilah bersama Maria; karena ia akan memperolehkan rahmat bagi kalian.” Mengenai hal ini, kalian dapat melihat buktinya melalui teladan indah berikut ini.

TELADAN

Dikisahkan, adalah seorang pendosa malang yang, di antara kejahatan-kejahatan lain yang dilakukannya, telah pula membunuh ayah dan saudara laki-lakinya, dan karena itu ia menjadi seorang pelarian. Suatu hari di Masa Prapaskah, ia mendengarkan khotbah imam tentang Kerahiman Ilahi. Maka, pergilah ia mengakukan dosa-dosanya kepada imam pengkhotbah. Bapa pengakuan, mendengar dosa-dosanya yang luar biasa berat, memintanya pergi ke hadapan SP Maria Bunda Dukacita, agar Bunda Maria dapat memperolehkan baginya rahmat tobat mendalam dan pengampunan atas dosa-dosanya. Orang berdosa itu patuh dan mulai berdoa; ketika, lihatlah, tiba-tiba ia roboh dan tewas seketika karena kesedihan yang sangat mendalam. Keesokan harinya, saat imam, dalam intensi Misa, mengunjukkan doa baginya, seekor merpati putih sekonyong-konyong muncul dalam gereja dan menjatuhkan sehelai kartu di kaki imam. Imam memungutnya dan mendapati tulisan berikut tertera di atasnya, “Jiwa almarhum, saat meninggalkan raganya, langsung menuju surga. Teruslah engkau menyampaikan khotbah tentang Kerahiman Ilahi yang tak terbatas.”

DOA

O Perawan yang berduka! Oh, jiwa yang sarat dengan kebajikan, namun juga sarat dengan dukacita, karena dukacita yang satu dan yang lainnya saling bergantian mendera hatimu yang berkobar-kobar dengan kasih kepada Tuhan, sebab engkau hanya mengasihi Dia saja; ah Bunda, kasihanilah aku, sebab bukannya mengasihi Tuhan, malahan aku menghina-Nya terus-menerus. Dukacitamu, ya Bunda, membangkitkan dalam diriku harapan akan pengampunan. Tetapi ini belumlah cukup; aku rindu mengasihi Tuhan-ku; dan bagaimanakah aku dapat memperoleh kasih ini lebih baik selain melalui engkau, yang adalah Bunda Cinta Kasih? Ah, Bunda Maria, engkau menghibur semua orang, hiburlah aku juga. Amin.

sumber : "On the Sixth Dolour, The Piercing of the Side of Jesus, and His descent from the Cross" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org
Dukacita Kelima

Yesus Wafat

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Sekarang kita merenungkan kemartiran Bunda Maria yang lain - seorang ibunda yang diharuskan melihat Putranya yang tak berdosa, dan yang ia cintai dengan segenap kasih sayang jiwanya, disiksa dengan keji dan dijatuhi hukuman mati di depan matanya, “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya.” St Yohanes yakin bahwa dengan kata-kata tersebut ia telah cukup mengungkapkan kemartiran Maria. Marilah merenungkan Bunda Maria yang berada di kaki salib, menemani Putranya yang meregang nyawa, dan lihatlah, adakah dukacita seperti dukacitanya. Marilah pada hari ini kita tinggal sejenak di Kalvari dan merenungkan pedang dukacita kelima, yang saat wafat Yesus, menembus hati Maria.

Segera setelah Penebus kita yang sengsara tiba di Bukit Kalvari, para algojo menanggalkan pakaian-Nya, dan menembusi tangan-tangan serta kaki-kaki-Nya dengan “bukan paku-paku yang tajam, melainkan paku-paku yang tumpul,” seperti dikatakan St Bernardus, agar lebih menyiksa-Nya, mereka memaku-Nya pada kayu salib. Sesudah menyalibkan-Nya, mereka memancangkan salib lalu membiarkan-Nya mati. Para algojo meninggalkan-Nya, namun tidak demikian dengan Maria. Ia kemudian mendekati salib, agar dapat mendampingi-Nya di saat ajal, “Aku tidak meninggalkan-Nya,” demikian Santa Perawan mengatakan kepada St Brigitta, “melainkan tinggal dekat kaki salib-Nya.” “Tetapi, apakah gunanya bagimu, ya Bunda,” kata St Bonaventura, “pergi ke Kalvari dan menyaksikan Putramu wafat? Tidakkah rasa malu mencegah engkau pergi, sebab aib-Nya adalah aibmu, karena engkau adalah Bunda-Nya. Setidak-tidaknya rasa ngeri yang mencekam menyaksikan kejahatan yang sedemikian, penyaliban Tuhan oleh makhluk ciptaan-Nya sendiri, mencegah engkau pergi ke sana.” Tetapi, santo yang sama menjawab, “Ah, hatimu tidak memikirkan dukacitanya sendiri, melainkan sengsara dan wafat Putramu terkasih,” dan oleh sebab itulah engkau lebih suka hadir, setidaknya untuk berbelas kasihan kepada-Nya. “Ah, Bunda yang sejati,” kata Abbas William, “Bunda yang paling penuh cinta kasih, yang bahkan ngeri kematian tak dapat memisahkanmu dari Putramu terkasih.” Tetapi, ya Tuhan, betapa suatu pemandangan yang memilukan melihat Putra menanggung sengsara di atas salib sementara di kaki salib Bunda yang berduka menanggung segala siksa aniaya yang diderita Putranya! Dengarlah kata-kata yang diungkapkan Bunda Maria kepada St Brigitta mengenai dukacita luar biasa saat menyaksikan Putranya meregang nyawa di salib, “Yesusku terkasih napas-Nya tersengal-sengal, tenaga-Nya terkuras, dan dalam sengsara akhirnya di salib; kedua mata-Nya masuk ke dalam, setengah tertutup dan tak bercahaya; bibir-nya bengkak dan mulut-Nya ternganga; pipinya cekung, wajah-Nya kusut; hidung-Nya patah; raut wajah-Nya sengsara: kepala-Nya lunglai ke dada-Nya, rambut-Nya hitam oleh darah, lambung-Nya kempis ke dalam, kedua tangan dan kaki-Nya kaku, sekujur tubuh-Nya penuh dengan luka dan darah.”

Segala sengsara Yesus ini adalah juga sengsara Maria, “setiap aniaya yang diderita tubuh Yesus,” kata St Hieronimus, “adalah luka di hati Bunda Maria.” “Siapa pun yang hadir di Bukit Kalvari saat itu,” kata St Yohanes Krisostomus, “akan melihat dua altar di mana dua kurban agung dipersembahkan; yang satu adalah tubuh Yesus, yang lainnya adalah hati Maria.” Tidak, lebih tepat jika kita mengatakannya bersama St Bonaventura, “hanya ada satu altar - yaitu salib Putra, di mana, bersama dengan kurban Anak Domba Allah ini, sang Bunda juga dikurbankan.” Sebab itu, St Bonaventura bertanya kepada sang Bunda, “Oh, Bunda, di manakah gerangan engkau? Di kaki salib? Tidak, melainkan engkau berada di atas salib, disalibkan, mengurbankan diri bersama Putramu.” St Agustinus menegaskan hal yang sama, “Salib dan paku-paku sang Putra adalah juga salib dan paku-paku Bunda-Nya; bersama Yesus Tersalib, disalibkan juga Bunda-Nya.” Ya, seperti dikatakan St Bernardus, “Kasih mengakibatkan dalam hati Maria siksa aniaya yang disebabkan oleh paku-paku yang ditembuskan pada tubuh Yesus.” Begitu dahsyatnya, seperti ditulis St Bernardus, “Pada saat yang sama Putra mengurbankan tubuh-Nya, Bunda mengurbankan jiwa-Nya.”

Para ibu pada umumnya tidak tahan dan menghindarkan diri dari menyaksikan anak-anak mereka mengalami sakrat maut, tetapi apabila seorang ibu harus menghadapi kenyataan yang demikian, ia akan mengusahakan segala daya upaya untuk meringankan penderitaan anaknya; ia merapikan tempat tidurnya agar anaknya merasa lebih nyaman, ia melayani segala kebutuhan anaknya, dengan demikian ibu yang malang itu meringankan penderitanya sendiri. Ah, Bunda yang paling berduka dari segala ibu! Ya Maria, engkau harus menyaksikan sengsara Putramu Yesus yang sedang meregang nyawa; tetapi engkau tak dapat melakukan sesuatu pun guna meringankan penderitaan-Nya. Bunda Maria mendengar Putranya berseru, “Aku haus!” tetapi ia bahkan tak dapat memberikan setetes air pun untuk melegakan dahaga-Nya yang sangat. Ia hanya dapat mengatakan, seperti dikatakan St Vincentius Ferrer, “Nak, ibu-Mu hanya punya airmata.” Ia melihat bahwa di atas pembaringan salib, Putranya, yang digantung dengan tiga paku, tak dapat beristirahat dengan tenang; betapa ingin ia merengkuh-Nya dalam pelukannya guna meringankan penderitaan-Nya, atau setidak-tidaknya Ia boleh menghembuskan napas terakhir-Nya dalam pelukannya, tetapi hal itu tak dapat dilakukannya. “Dengan sia-sia,” kata St Bernardus, “ia merentangkan kedua tangannya, tetapi tangan-tangan itu kembali ke dadanya dengan kosong.” Ia menyaksikan Putranya yang malang, yang dalam lautan sengsara-Nya mencari penghiburan, tetapi sia-sia, seperti dinubuatkan nabi, “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan, dan dari antara umat-Ku tidak ada yang menemani Aku!” Tetapi, siapakah di antara manusia yang mau menghibur-Nya, karena mereka semua memusuhi-Nya? Bahkan di atas salib Ia dicela dan dihujat oleh orang-orang di sekitarnya, “orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia …sambil menggelengkan kepala.” Sebagian berkata kepada-Nya, “Jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Yang lain berkata, “Orang lain ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!” Lagi, “Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu.” Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, “Aku mendengar sebagian orang mengatakan bahwa Putraku seorang penjahat; sebagian lagi mengatakan bahwa Ia seorang penipu; yang lainnya mengatakan bahwa tak ada yang lebih pantas dijatuhi hukuman mati selain daripada Dia; dan setiap kata yang mereka lontarkan merupakan pedang-pedang dukacita baru yang menembusi hatiku.”

Tetapi, yang paling menambah beban duka yang diderita Bunda Maria melalui belas kasihannya terhadap Putranya adalah ketika ia mendengar-Nya mengeluh dari atas salib bahwa bahkan Bapa-Nya yang Kekal telah meninggalkan-Nya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kata-kata ini, seperti diungkapkan Bunda Allah kepada St Brigitta, tak pernah dapat, sepanjang hidupnya, lepas dari ingatannya. Jadi, Bunda yang berduka menyaksikan Putranya Yesus menanggung sengsara dari berbagai pihak; ia berhasrat menghiburnya, tetapi tak dapat. Dan yang paling mendukakan hatinya ialah menyadari bahwa dirinya sendiri, kehadiran dan dukacitanya, menambah sengsara Putranya. “Dukacita,” kata St Bernardus, “yang memenuhi hati Maria, bagaikan air bah membanjiri serta melukai hati Yesus.” “Begitu hebatnya,” menurut santo yang sama, “hingga Yesus di atas salib lebih menderita karena belas kasihan-Nya terhadap Bunda-Nya daripada karena sengsara-Nya sendiri.” Kemudian ia berbicara atas nama Bunda Maria, “Aku berdiri dengan mataku terpaku pada-Nya, dan mata-Nya padaku, dan Ia lebih menderita karena aku daripada karena Diri-Nya Sendiri.” Lalu, berbicara mengenai Bunda Maria yang berada di samping Putranya yang meregang nyawa, ia mengatakan, “ia hidup dalam kematian tanpa dapat mati.” “Di kaki salib Kristus, Bunda-Nya berdiri separuh mati; ia tak berbicara, mati sementara ia hidup, dan hidup sementara ia mati; ia tak dapat mati, sebab kematian adalah hidupnya yang sesungguhnya.” Passino menulis bahwa Yesus Kristus Sendiri suatu hari berbicara kepada Beata Baptista Varani dari Camerino, meyakinkannya bahwa saat di atas salib, begitu hebat dukacitanya melihat Bunda-Nya berdiri di kaki salib dalam dukacita yang luar biasa, hingga belas kasihan-Nya terhadapnya menyebabkan Ia wafat tanpa penghiburan; begitu dahsyat dukacita itu hingga Beata Baptista, yang dianugerahi pencerahan ilahi, merasakan luar biasanya sengsara Yesus ini, berseru, “Ya Tuhan, jangan ceritakan lagi sengsara-Mu ini, sebab aku tak mampu lagi menanggungnya.”

“Semua orang,” kata Simon dari Cassia, “yang saat itu menyaksikan Bunda Maria diam seribu bahasa, tanpa sepatah kata pun keluhan, di tengah dukacita yang begitu hebat itu, merasa tercengang.” Tetapi, jika bibirnya tenang, tidak demikian halnya dengan hatinya, sebab tak henti-hentinya Bunda Maria mempersembahkan hidup Putra-Nya kepada Keadilan Ilahi demi keselamatan umat manusia. Oleh sebab itu, kita tahu bahwa dengan jasa-jasa dukacitanya, Bunda Maria bekerjasama dengan Allah dalam melahirkan kita ke dalam kehidupan rahmat, dan dengan demikian kita adalah anak-anak dari dukacitanya.

“Kristus,” kata Lanspergius, “bersuka hati bahwa ia, rekan dalam penebusan kita, dan yang telah Ia tetapkan untuk diberikan-Nya kepada kita sebagai Bunda kita, hadir di sana; sebab di kaki saliblah ia ditetapkan untuk melahirkan kita, anak-anaknya.” Jika ada setitik penghiburan yang mampu menembus lautan dukacita dalam hati Bunda Maria, satu-satunya penghiburan itu ialah bahwa ia mengetahui, dengan dukacitanya ia menghantar kita pada keselamatan abadi, seperti yang dinyatakan Yesus Sendiri kepada St Brigitta, “Bunda-Ku Maria, oleh karena belas kasihan dan kasih sayangnya, diangkat menjadi Bunda Seluruh Langit dan Bumi.” Dan sungguh, inilah kata-kata terakhir yang diucapkan Yesus sebagai salam perpisahan kepada Bunda-Nya sebelum Ia wafat: inilah pesan terakhir-Nya, mempercayakan kita semua kepadanya sebagai anak-anaknya melalui sosok St Yohanes, “Ibu, inilah anakmu!” Sejak saat itu Bunda Maria memulai perannya sebagai Bunda bagi kita; St Petrus Damianus menegaskan, “melalui doa-doa Maria, yang berdiri di kaki salib antara penyamun yang baik dan Putranya, penyamun itu dipertobatkan dan diselamatkan, dan dengan demikian ia membalas kebaikannya di masa lampau.” Sebab, seperti dikisahkan para penulis lainnya juga, penyamun ini telah bermurah hati kepada Yesus dan Bunda Maria dalam pengungsian mereka ke Mesir. Peran yang sama dari Santa Perawan terus berlanjut, dan masih berlanjut, untuk selamanya.

TELADAN

Seorang pemuda di Perugia berjanji kepada iblis, jika iblis membuatnya mampu mendapatkan obyek dosa yang ia dambakan, ia akan mempersembahkan jiwanya; ia menyerahkan perjanjian tertulis kepada iblis yang ditandatangani dengan darahnya. Setelah kejahatan dilakukan, iblis menuntut dipenuhinya janji sang pemuda. Untuk itu, iblis menggiringnya ke tepi sungai yang dalam dan mengancam jika ia tidak menceburkan diri ke dalamnya, iblis akan menyeretnya, tubuh dan jiwa, ke dalam neraka. Pemuda malang ini, berpikir bahwa tidaklah mungkin meloloskan diri dari tangan iblis, naik ke sebuah jembatan kecil di mana ia dapat meloncat; gemetar akan bayangan kematian, ia mengatakan kepada iblis bahwa ia tidak memiliki keberanian untuk meloncat; jika iblis menuntut kematiannya, iblislah yang harus mendorongnya. Pemuda ini mengenakan skapulir SP Maria Berdukacita, sebab itu iblis berkata, “Lepaskan skapulir itu, maka aku akan mendorongmu.” Sang pemuda, menyadari bahwa melalui skapulirnya Bunda Allah masih berkenan memberinya perlindungan, menolak melakukannya. Pada akhirnya, setelah pertengkaran sengit, iblis dengan putus asa pergi; dan si pendosa, penuh rasa syukur kepada Bunda Dukacita, pergi untuk berterima kasih kepadanya dan mengakukan dosa-dosanya. Sesuai nazarnya, sang pemuda mempersembahkan bagi Santa Perawan, di gereja Santa Maria la Nuova di Perugia, sebuah lukisan yang menggambarkan apa yang telah terjadi.

DOA

Ah, Bunda yang paling berduka dari segala ibunda, Putramu telah wafat; Putra yang begitu menawan dan yang begitu mengasihi engkau! Menangislah, sebab engkau punya alasan untuk mengangis. Siapakah gerangan yang mampu menghibur engkau? Hanya pikiran bahwa Yesus dengan wafat-Nya menaklukkan neraka, membuka pintu gerbang surga yang hingga saat itu tertutup bagi manusia, dan memenangkan banyak jiwa-jiwa, yang mampu menghibur engkau. Dari atas tahta salib, Ia akan berkuasa dalam begitu banyak hati, yang, takluk pada kasih-Nya, akan mengabdi-Nya dengan sepenuh hati. Sementara itu, ya Bundaku, janganlah menolak aku, ijinkan aku berada di dekatmu, menangis bersamamu, sebab aku punya banyak alasan untuk mengangisi dosa-dosaku dengan mana aku telah menghina-Nya. Ah, Bunda Belas Kasihan, aku berharap, pertama-tama, melalui wafat Penebus-ku, dan kemudian melalui dukacitamu, untuk memperoleh pengampunan serta keselamatan abadi.

sumber : "On the Fifth Dolour, Of the Death of Jesus" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org
Dukacita Keempat

Perjumpaan Bunda Maria dengan Yesus

saat Ia Menjalani Hukuman Mati

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

St Bernardinus mengatakan, agar dapat memperoleh gambaran betapa dahsyat dukacita Maria atas wafat Yesus, patutlah kita merenungkan betapa besar kasih sayang Bunda Maria yang dilimpahkannya kepada Putranya. Semua ibu merasakan penderitaan anak-anak mereka sebagai penderitaan mereka sendiri. Sebab itu, ketika wanita Kanaan memohon kepada Juruselamat kita agar membebaskan puterinya dari setan yang menyiksanya, ia mohon pada-Nya untuk berbelas kasihan kepadanya, sang ibu, daripada puterinya, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” Tetapi, adakah ibu yang mengasihi anaknya lebih dari Bunda Maria mengasihi Yesus? Ia adalah Putra tunggalnya, dibesarkan di tengah begitu banyak kesulitan hidup; seorang Putra yang paling menawan, dan mengasihi Bunda-Nya dengan kasih mesra; Putra, yang bukan saja Putranya, melainkan juga Tuhannya, yang telah datang ke dunia guna menyalakan dalam hati semua orang api kasih ilahi, seperti yang Ia Sendiri nyatakan, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan api itu telah menyala!” Marilah kita membayangkan betapa api telah Ia nyalakan dalam hati murni Bunda-Nya yang Tersuci, api kasih yang tidak seperti dari dunia ini. Bunda Maria sendiri mengatakan kepada St Brigitta, kasih itu telah membuat hatinya dan hati Putranya menjadi satu. Leburnya antara Hamba dan Bunda, dengan Putra dan Allah, menciptakan dalam hati Maria api yang terdiri dari ribuan nyala api. Namun demikian, keseluruhan nyala api kasih ini kelak, pada saat sengsara, berubah menjadi lautan dukacita, seperti dinyatakan St Bernardinus, “andaikata segala derita sengsara di seluruh dunia dijadikan satu, masih tidak akan sebanding dengan dukacita Perawan Maria yang mulia.” Ya, sebab, seperti ditulis Richard dari St Laurentius, “semakin lemah lembut Bunda Maria mengasihi, semakin dalamlah ia terluka.” Semakin besar kasihnya kepada-Nya, semakin besar dukacitanya saat sengsara-Nya; teristimewa saat Ia berjumpa dengan Putranya, yang telah dijatuhi hukuman mati, memanggul salib-Nya ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Inilah pedang dukacita keempat yang kita renungkan pada hari ini.

Bunda Maria mengungkapkan kepada St Brigitta bahwa ketika saat sengsara Kristus semakin dekat, matanya senantiasa bersimbah airmata, sementara pikirannya tak lepas dari Putranya terkasih, yang akan terpisah darinya di dunia ini, dan bayangan akan sengsara yang segera tiba menyebabkannya diliputi ketakutan, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lihat, waktu yang ditetapkan sejak lama telah tiba, dan Yesus, dengan meneteskan airmata, mohon pamit dari Bunda-Nya sebelum Ia menyongsong maut. St Bonaventura, merenungkan Bunda Maria pada malam itu, mengatakan, “Engkau melewatkan malam-malam tanpa terlelap, dan sementara yang lain tertidur pulas, engkau tetap terjaga.” Pagi harinya, para murid Yesus Kristus datang kepada Bunda yang berduka, seorang memberitakan kabar, yang lain membawa kabar yang lain pula; namun semuanya kabar dukacita, membuktikan digenapinya nubuat Yeremia atasnya, “Pada malam hari tersedu-sedu ia menangis, airmatanya bercucuran di pipi; dari semua kekasihnya, tak ada seorang pun yang menghibur dia.” Sebagian menceritakan kepadanya perlakuan keji terhadap Putranya di rumah Kayafas; yang lain, penghinaan yang Ia terima dari Herodes. Pada akhirnya - aku menghilangkan yang lainnya - St Yohanes datang dan mengabarkan kepada Bunda Maria bahwa Pilatus yang sangat tidak adil telah menjatuhkan hukuman mati disalib atas-Nya. Aku katakan Pilatus yang sangat tidak adil; sebab seperti perkataan St Leo, “Hakim yang tidak adil ini menjatuhkan hukuman mati atas-Nya dengan bibir yang sama yang memaklumkan bahwa Ia tidak bersalah.” “Ah, Bunda yang berduka,” kata St Yohanes, “Putramu telah dijatuhi hukuman mati, Ia telah pergi, memanggul salib-Nya sendiri ke Kalvari,” seperti yang kemudian dikisahkan orang kudus ini dalam Injilnya, “Sambil memikul salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.” “Marilah, jika engkau berharap berjumpa dengan-Nya di tengah jalan yang akan dilewati-Nya, dan menyampaikan selamat tinggal.”

Bunda Maria pergi bersama St Yohanes, dan dari darah yang tercecer di tanah, ia tahu bahwa Putranya telah lewat. Hal ini dinyatakan Bunda Maria kepada St Brigitta, “Dari jejak-jejak Putraku, aku tahu di mana Ia telah lewat. Sebab sepanjang perjalanan, tanah dibasahi dengan darah-Nya.” St Bonaventura menggambarkan Bunda yang berduka mengambil jalan pintas, menanti di sudut jalan agar dapat berjumpa dengan Putranya yang sengsara saat Ia lewat. “Bunda yang paling berduka,” kata St Bernardus, “berjuma dengan Putranya yang paling sengsara.” Sementara Bunda Maria menanti di sudut jalan, betapa banyak ia mendengar apa yang dikatakan orang-orang Yahudi, yang segera mengenalinya, segala kata yang menyudutkan Putranya terkasih, dan mungkin bahkan kata-kata yang mencela dirinya juga.

Sungguh malang, betapa adegan duka hadir di hadapannya! paku-paku, palu, tali, alat-alat yang mendatangkan maut bagi Putranya, semuanya di bawa mendahului-Nya. Dan betapa suara terompet yang memaklumkan hukuman mati bagi Putranya itu menyayat hatinya! Tetapi lihatlah, segala alat-alat hukuman mati, peniup terompet, dan para algojo, semuanya telah berlalu; ia mengangkat matanya dan melihat, ya Tuhan! seorang pemuda penuh berlumuran darah dan luka-luka dari ujung kepala hingga ujung kaki, sebuah mahkota duri di sekeliling kepala-Nya, dan dua palang berat di pundak-Nya. Ia memandang pada-Nya, hampir-hampir tak mengenali-Nya, dan berkata bersama Yesaya, “dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia.” Ya, sebab luka-luka, bilur-bilur dan gumpalan-gumpalan darah membuat-Nya tampak seperti seorang kusta: “kita mengira dia kena tulah” sehingga kita tak mengenali-Nya lagi, “ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.” Tetapi, kuasa cinta menyatakan-Nya kepadanya, dan segera setelah ia menyadari bahwa pemuda itu sungguh Putranya, ah betapa cinta dan ngeri menguasai hatinya! demikian dikatakan St Petrus dari Alcantara dalam meditasinya. Di satu pihak, Bunda Maria berhasrat memandang-Nya, namun, di pihak lain ia takut tak dapat menahan hatinya melihat pemandangan yang menyayat hati itu. Pada akhirnya, mereka saling memandang. Sang Putra menyeka gumpalan darah dari mata-Nya, seperti dinyatakan kepada St Brigitta, yang menghalangi penglihatan-Nya, dan memandang Bunda-Nya, dan Sang Ibunda memandang Putranya. Ah, lihatlah betapa dukacita yang pahit, bagaikan begitu banyak anak panah menancap serta menembusi kedua jiwa kudus yang penuh kasih itu. Ketika Margareta, puteri St. Thomas More berjumpa dengan ayahnya dalam perjalanan eksekusinya, ia hanya dapat berseru, “O ayah! Ayah!” dan jatuh pingsan di depan kaki ayahnya. Bunda Maria, berjumpa dengan Putranya dalam perjalanan-Nya ke Kalvari, tidak pingsan, tidak, seperti dikatakan Pastor Suarez, bahwa mestinya Bunda ini telah kehilangn akal; atau pun tewas. Namun demikian Tuhan melindunginya guna menanggung dukacita yang lebih dahsyat; walaupun ia tidak mati, dukacitanya cukup menyebabkannya mati seribu kali.

“Sang Bunda berhasrat memeluk Putranya,” demikian kata St Anselmus, “tetapi para prajurit mendorongnya ke samping dengan kejam dan memaksa Kristus yang menderita melangkah maju; dan Bunda Maria mengikuti-Nya. Ah, Santa Perawan, ke manakah gerangan engkau hendak pergi? Ke Kalvari. Yakinkah engkau bahwa engkau sanggup memandang Dia, yang adalah hidupmu sendiri, tergantung di salib?” Dan hidupmu akan tergantung di hadapanmu. “Ah, berhentilah Bunda-Ku,” kata St Laurentius Giustiniani atas nama sang Putra, “Ke manakah engkau hendak pergi? Dari manakah engkau datang? Jika engkau pergi ke mana Aku pergi, engkau akan tersiksa karena sengsara-Ku, dan Aku karena sengsaramu.” Namun, meskipun menyaksikan Putranya Yesus yang meregang nyawa akan mengakibatkan dukacita yang dahsyat, Bunda Maria yang penuh kasih tak mau meninggalkan-Nya: sang Putra melangkah maju, sementara Bunda mengikuti, agar juga dapat disalibkan bersama Putranya, seperti dikatakan Abbas William, “sang Bunda juga memikul salibnya dan mengikuti Dia untuk disalibkan bersama-Nya.” “Kita bahkan menaruh belas kasihan kepada binatang-binatang liar,” tulis St Yohanes Krisostomus, “melihat seekor induk singa menyaksikan anaknya mati, bukankah kita akan tergerak oleh belas kasihan? Tidakkah kita juga tergerak oleh belas kasihan melihat Bunda Maria mengikuti Anak Dombanya yang tak bercela ke tempat pembantaian? Jadi, marilah kita menaruh belas kasihan kepadanya, dan marilah kita juga menemaninya dan menemani Putranya, dengan memikul dengan tekun salib yang Kristus anugerahkan kepada kita. St Yohanes Krisostomus bertanya, mengapa Yesus Kristus, dalam sengsara-Nya yang lain, lebih suka menanggung sengsara-Nya sendiri, tetapi, dalam memikul salib-Nya Ia membiarkan diri dibantu oleh seorang Kirene? Ia menjawab, “hendaknya kamu mengerti bahwa salib Kristus tidak lengkap tanpamu.”

TELADAN

Juruselamat kita suatu hari menampakkan diri kepada Sr Diomira, seorang biarawati di Florence, dan mengatakan, “Pikirkanlah Aku dan kasihilah Aku, maka Aku akan memikirkan engkau dan mengasihi engkau.” Pada saat yang sama Kristus memberinya seikat bunga dan sebuah salib, dengan cara demikian menyatakan bahwa penghiburan bagi para kudus di dunia ini senantiasa disertai dengan salib. Salib mempersatukan jiwa dengan Tuhan. Beato Hieronimus Emilian, saat masih menjadi seorang tentara dan penuh dosa, dikurung oleh para musuhnya dalam sebuah benteng. Di sana, terdorong oleh kemalangannya, dan memperoleh pencerahan dari Tuhan untuk mengubah hidupnya, ia mohon pertolongan Santa Perawan, dan sejak saat itu, dengan pertolongan Bunda Allah, ia mulai hidup sebagai seorang kudus, begitu saleh hidupnya hingga suatu hari ia beroleh karunia melihat tempat sangat tinggi yang telah Tuhan persiapkan baginya di surga. Ia menjadi pendiri ordo religius Somaschi, wafat sebagai seorang kudus, dan baru-baru ini telah dikanonisasi oleh Gereja yang kudus.

DOA

Bundaku yang berduka, demi dukacita luar biasa yang engkau derita saat menyaksikan Putramu Yesus yang terkasih digiring menuju pembantaian, perolehkanlah bagiku rahmat agar aku juga senantiasa tekun dalam memikul salib-salib yang Tuhan anugerahkan kepadaku. Alangkah bahagianya aku, seandainya aku tahu bagaimana menyertaimu dengan salibku hingga ajal. Engkau bersama Putramu Yesus - kalian berdua yang sama sekali tak berdosa - telah memikul salib yang jauh lebih berat; layakkah aku, seorang pendosa, yang pantas mendapatkan neraka, menolak memikul salibku? Ah, Santa Perawan yang Dikandung Tanpa Dosa, darimu aku berharap memperoleh pertolongan dalam memikul semua salibku dengan tekun. Amin.

sumber : "On the Fourth Dolour On the Meeting of Mary with Jesus, when He was Going to Death" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - March 20, 1996; www.cin.org
Dukacita Ketiga

Hilangnya Yesus di Bait Allah

oleh: St. Alfonsus Maria de Liguori

Rasul St Yakobus mengatakan bahwa kesempurnaan dapat dicapai dengan ketekunan. “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” Kristus memberikan Santa Perawan Maria kepada kita sebagai teladan kesempurnaan, oleh sebab itu perlulah ia ditempa derita agar dalam dia kita dapat mengagumi ketekunannya yang gagah berani dan berusaha meneladaninya. Dukacita yang kita renungkan sekarang ini adalah penderitaan terdahsyat yang harus dialami Bunda Maria dalam hidupnya, kehilangan Putranya di Bait Allah.

Ia, yang terlahir buta, merasa menderita karena tak dapat melihat terang; tetapi ia, yang dulu biasa menikmati terang dan sekarang tak lagi dapat menikmatinya karena menjadi buta, merasa jauh lebih menderita. Demikian juga halnya dengan jiwa-jiwa yang malang, yang dibutakan oleh gemerlapnya dunia ini, hanya sedikit mengenal Tuhan, mereka menderita, tetapi sedikit saja, saat tak dapat menemukan-Nya. Tetapi, sebaliknya, ia yang diterangi oleh terang surgawi, telah menjadi layak karena kasih untuk menikmati kehadiran mesra yang Maha Pengasih. Ya Tuhan, betapa pahit dukacitanya apabila ia mendapati dirinya terpisah daripada-Mu! Sekarang, mari kita lihat betapa pastilah Bunda Maria menderita karena pedang dukacita ketiga yang menembus jiwanya, yaitu saat kehilangan Yesus di Yerusalem selama tiga hari, ia terpisah dari kehadiran-Nya yang amat mempesona, sementara ia biasa menikmatinya.

St Lukas mencatat dalam bab dua Injilnya bahwa Bunda Maria dengan St Yusuf, suaminya, dan Yesus, tiap-tiap tahun biasa pergi ke Bait Allah pada hari raya Paskah. Pada waktu Putranya berusia duabelas tahun, Bunda Maria pergi seperti biasanya, dan Yesus tanpa sepengetahuannya tinggal di Yerusalem. Bunda Maria tidak langsung menyadari hal itu, ia beranggapan bahwa Yesus ada bersama yang lainnya. Setibanya di Nazaret, ia mencari Putranya, tetapi tidak mendapatkan-Nya. Segera ia kembali ke Yerusalem untuk mencari-Nya, dan setelah tiga hari barulah ia mendapatkan-Nya. Sekarang marilah kita merenungkan betapa gelisah Bunda yang berduka ini selama tiga hari sementara ia mencari-cari Putranya. Bersama pengantin dalam Kidung Agung ia bertanya tentang-Nya, “Apakah kamu melihat jantung hatiku?” Tetapi, tak didapatkannya kabar berita tentang-Nya. Oh, sungguhlah besar duka dalam hati Maria, dikuasai rasa letih, namun belum juga menemukan Putranya terkasih, ia mengulang kata-kata Ruben mengenai saudaranya, Yusuf, “Anak itu tidak ada lagi, ke manakah aku ini?” “Yesus-ku tidak ada dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menemukan-Nya; tetapi ke manakah aku hendak pergi tanpa jantung hatiku?” Dengan airmata menetes tak henti, diulanginya kata-kata ini bersama Daud sepanjang tiga hari itu, “Airmataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: `Di mana Allahmu?'” Sebab itu, Pelbart, bukan tanpa alasan mengatakan bahwa `pada malam-malam itu Bunda yang berduka tidak dapat memejamkan mata; terus-menerus ia meneteskan airmata, memohon dengan sangat kepada Tuhan agar Ia menolongnya menemukan Putranya.” Seringkali, selama masa itu, menurut St Bernardus, Bunda Maria memanggil Putranya dengan menggunakan kata-kata pengantin dalam bait ini, “Tunjukkanlah kepadaku, jantung hatiku, di mana engkau menggembalakan domba, di manakah engkau pada petang hari, agar aku segera pergi mencari.” Putraku, katakan di manakah Engkau berada, agar aku tak lagi berkeliling mencari Engkau dengan sia-sia.

Sebagian orang menegaskan, dan bukan tanpa alasan, bahwa dukacita ini bukan hanya salah satu yang terbesar, melainkan yang paling dahsyat dan paling menyakitkan dari yang lainnya. Sebab, pertama, Bunda Maria dalam dukacitanya yang lain, ada bersama Yesus: ia berduka saat Nabi Simeon menyampaikan nubuat kepadanya di Bait Allah; ia berduka dalam pengungsian ke Mesir, tetapi semuanya itu dilaluinya bersama Yesus. Tetapi, dalam dukacitanya yang ini, Bunda Maria berduka terpisah dari Yesus, bahkan tak tahu di mana Ia berada, “cahaya matakupun lenyap dari padaku.” Sebab itu, sambil menangis ia mengatakan, “Ah, cahaya mataku, Yesus terkasih, tidak lagi bersamaku; Ia jauh dariku dan aku tidak tahu kemanakah gerangan Ia pergi.” Origen mengatakan bahwa karena kasih sayang yang dilimpahkan Bunda Tersuci ini kepada Putranya, “ia menderita jauh lebih hebat atas kehilangan Putranya Yesus daripada yang pernah ditanggung para kudus manapun dalam perpisahan jiwa dari raganya.” Ah, betapa lamanya masa tiga hari itu bagi Maria; serasa tiga abad lamanya, dan seluruhnya kepahitan belaka, oleh sebab tak ada yang mampu menghiburnya. Dan siapakah yang dapat menghiburku, demikian katanya bersama Nabi Yeremia, siapakah yang dapat menenangkan hatiku, sebab Ia seorang, yang dapat melakukannya, berada jauh dariku dan karenanya mataku tak akan pernah cukup mencucurkan air mata. “Karena inilah aku menangis, mataku mencucurkan air; karena jauh dari padaku penghibur yang dapat menyegarkan jiwaku.” Dan bersama Tobit ia mengulang, “Adakah sukacita bagiku yang duduk dalam kegelapan dan tidak melihat cahaya surgawi?”

Alasan kedua, Bunda Maria, dalam semua dukacitanya yang lain, memahami benar bahwa alasannya adalah demi penebusan umat manusia, yaitu kehendak Allah; tetapi dalam dukacitanya yang ini, ia tidak memahami alasan hilangnya Putranya. “Bunda yang berduka,” kata Lanspergius, “bersedih hati atas tiadanya Yesus, sebab dalam kerendahan hatinya, ia menganggap dirinya tak pantas lagi untuk tetap tinggal bersama ataupun merawat-Nya di dunia ini dan menerima tanggung jawab atas harta pusaka yang luar biasa itu.” “Dan siapa tahu,” demikian pikirnya dalam hati, “mungkin aku tidak melayani-Nya seperti yang seharusnya; mungkin aku bersalah karena lalai, sebab itu Ia meninggalkanku.” “Mereka mencari-Nya,” kata Origen, “kalau-kalau sekiranya Ia telah meninggalkan mereka sama sekali.” Suatu hal yang pasti bahwa bagi jiwa yang mengasihi Tuhan, tak ada kesedihan yang lebih besar daripada takut mengecewakan-Nya.

Sebab itu, hanya dalam dukacita ini saja Bunda Maria mengeluh; secara halus ditegurnya Yesus setelah ia menemukan-Nya, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Dengan kata-katanya ini Bunda Maria tidak bermaksud mencela Yesus, seperti dituduhkan oleh mereka yang sesat, melainkan hanya bermaksud mengungkapkan kepada-Nya kesedihan, karena kasihnya yang mendalam kepada-Nya, yang ia alami selama ketidakhadiran-Nya. “Bukan suatu celaan,” kata Denis Carthusian, “melainkan suatu protes kasih.” Singkat kata, pedang dukacita ini begitu kejam menembus hati Santa Perawan Tersuci. Beata Benvenuta, rindu suatu hari dapat berbagi duka dengan Bunda Tersuci dalam dukacitanya ini dan memohon kepada Bunda Maria agar kerinduannya dikabulkan. Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dengan Bayi Yesus dalam pelukannya, tetapi sementara Benvenuta menikmati kehadiran Kanak-kanak yang paling menawan hati ini, dalam sekejap ia dipisahkan dari-Nya. Begitu dalam kesedihan Benvenuta hingga ia mohon pertolongan Bunda Maria untuk meringankan penderitaannya, agar dukacitanya itu jangan sampai mengakibatkan kematian. Tiga hari kemudian, Santa Perawan menampakkan diri kembali dan mengatakan, “Ketahuilah, puteriku, penderitaanmu itu hanyalah sebagian kecil dari yang aku derita ketika aku kehilangan Putraku.”

Dukacita Bunda Maria ini, pertama-tama, berguna sebagai penghiburan bagi jiwa-jiwa yang menderita, dan tak lagi menikmati, seperti dulu mereka menikmati, kehadiran mesra Tuhan mereka. Jiwa-jiwa demikian boleh menangis, tetapi sepantasnya mereka menangis dalam damai, seperti Bunda Maria menangisi ketidakhadiran Putranya; dan biarlah jiwa-jiwa itu menimba keberanian, dan bukannya takut bahwa Allah tak berkenan lagi kepada mereka; sebab Tuhan sendiri telah menegaskan keada St Teresa bahwa “tak seorang pun sesat tanpa mengetahuinya; dan tak seorang pun diperdaya tanpa ia sendiri menghendakinya.” Karenanya, jika Tuhan menarik diri dari suatu jiwa yang mengasihi-Nya, Ia tidak sungguh-sunggh meninggalkan jiwa; Tuhan seringkali menyembunyikam Diri dari suatu jiwa agar jiwa mencari-Nya dengan kerinduan yang lebih berkobar dan dengan cinta yang lebih bernyala-nyala. Tetapi, barangsiapa rindu bertemu Yesus, ia harus mencari-Nya, bukan di antara segala kenikmatan dan kesenangan duniawi, melainkan di antara salib-salib dan penyangkalan diri, seperti Bunda Maria mencari-Nya, “aku dengan cemas mencari Engkau,” demikian kata Bunda Maria kepada Putranya. “Jadi, aku belajar dari Maria,” kata Origen, “dalam mencari Yesus.”

Lagipula, di dunia ini Bunda Maria tidak mencari yang lain selain Yesus. Ayub tidak mengutuk ketika ia kehilangan segala miliknya di dunia: kekayaan, anak-anak, kesehatan, kehormatan, dan bahkan diturunkan dari tahta ke atas abu; tetapi karena Tuhan bersamanya, ia tetap menerima keadaannya. St Agustinus menyatakan, “ia telah kehilangan segala apa yang Tuhan berikan kepadanya, tetapi ia masih memiliki Tuhan Sendiri.” Betapa menyedihkan dan menderitanya jiwa-jiwa yang kehilangan Tuhan. Jika Bunda Maria menangisi ketidakhadiran Putranya selama tiga hari, betapa terlebih lagi selayaknya para pendosa menangis, mereka yang telah kehilangan rahmat Allah, dan kepadanya Tuhan mengatakan, “kamu ini bukanlah umat-Ku dan Aku ini bukanlah Allahmu.” Inilah akibat dosa; dosa memisahkan jiwa dari Tuhan, “yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu.” Jadi, jika orang-orang berdosa memiliki segala kekayaan dunia, tetapi kehilangan Tuhan, maka segalanya, bahkan yang ada di dunia ini, menjadi sia-sia dan menjadi sumber penderitaan mereka, seperti diakui Salomo, “lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” Tetapi kemalangan terbesar dari jiwa-jiwa yang buta ini adalah, demikian menurut St Agustinus, “apabila mereka kehilangan kapak, pastilah mereka pergi mencarinya; apabila mereka kehiangan domba, pastilah mereka berusaha keras mencarinya; apabila mereka kehilangan binatang beban, mereka tak dapat beristirahat; tetapi ketika mereka kehilangan Tuhan mereka, yang adalah Yang Mahabaik, mereka makan, minum dan beristirahat.”

TELADAN

Dalam Surat-surat Tahunan Serikat Yesus dikisahkan bahwa di India, seorang pemuda meninggalkan kamarnya dengan maksud untuk berbuat dosa, ketika didengarnya suatu suara yang mengatakan, “Berhentilah! kemanakah engkau hendak pergi?” Ia melihat sekeliling dan tampaklah olehnya suatu gambar relief yang melukiskan Bunda Dukacita, sedang mengulurkan pedang yang ada di dadanya, katanya, “Ambillah pedang ini, lebih baiklah engkau menusukkannya ke hatiku daripada melukai Putraku dengan berbuat dosa yang demikian.” Mendengar kata-kata ini, pemuda itu merebahkan diri ke tanah, meledak dalam tangis, penuh sesal mohon pengampunan dari Tuhan dan Bunda Maria.

DOA

Ya Bunda Maria, mengapakah engkau menyiksa dirimu sendiri saat mencari Putramu yang hilang? Adakah karena engkau tidak tahu di mana Ia berada? Tidak tahukah engkau bahwa Ia ada dalam hatimu? Tidak tahukah engkau bahwa Ia menggembala di tengah-tengah bunga bakung? Engkau sendiri mengatakannya, “Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia yang menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung.” Segenap pikiran dan kasih sayangmu, yang bersahaja, murni dan suci, adalah bunga-bunga bakung yang mengundang Mempelai Ilahi untuk tinggal dalam engkau. Ah, Bunda Maria, adakah engkau berkeluh-kesah karena Yesus, satu-satunya jantung hatimu? Berikanlah keluh-kesahmu kepadaku, dan kepada begitu banyak orang berdosa yang tidak mengasihi-Nya, dan yang telah kehilangan Dia karena menghina-Nya. Bundaku yang paling menawan, jika karena dosa-dosaku Putramu belum kembali pada jiwaku, sudilah engkau membantuku agar aku dapat menemukan-Nya. Aku yakin bahwa Ia akan ditemukan oleh mereka yang mencari-Nya, “TUHAN adalah baik bagi jiwa yang mencari Dia” Tetapi, ya Bunda, bantulah aku mencari-Nya seperti yang seharusnya. Engkaulah pintu masuk di mana semua orang dapat menemukan Yesus; melalui engkau, aku juga berharap dapat menemukan Dia. Amin.

sumber : "On the Third Dolour, Of the Loss of Jesus in the Temple" by St. Alphonsus Liguori; Copyright © 1996 Catholic Information Network (CIN) - March 3, 1996; www.cin.org