Kamis, 11 September 2008

Perempuan Berselubungkan Matahari

oleh: P. William P. Saunders *

Pada Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, kita mendengarkan bacaan dari Kitab Wahyu yang mengisahkan seorang perempuan berselubungkan matahari, seorang Anak dan seekor naga. Apakah perempuan yang dimaksud adalah Bunda Maria? Seorang teman Protestan dalam pendalaman Kitab Suci mengatakan bukan.
~ seorang pembaca di Sterling

Pertama-tama, marilah menyegarkan ingatan kita dengan ayat dari Kitab Wahyu 11:19 - 12:6, “Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di sorga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci itu dan terjadilah kilat dan deru guruh dan gempa bumi dan hujan es lebat. Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Ia sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan. Maka tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota. Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi. Dan naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan itu, untuk menelan Anaknya, segera sesudah perempuan itu melahirkan-Nya. Maka ia melahirkan seorang Anak laki-laki, yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi; tiba-tiba Anaknya itu dirampas dan dibawa lari kepada Allah dan ke takhta-Nya. Perempuan itu lari ke padang gurun, di mana telah disediakan suatu tempat baginya oleh Allah, supaya ia dipelihara di situ seribu dua ratus enam puluh hari lamanya.”

Sejak jaman para bapa Gereja perdana, gambaran akan “perempuan berselubungkan matahari” ini mengandung tiga perlambang: bangsa Israel kuno, Gereja dan Bunda Maria. Mengenai bangsa Israel kuno, Yesaya menggambarkan Israel sebagai, “Seperti perempuan yang mengandung yang sudah dekat waktunya untuk melahirkan, menggeliat sakit, mengerang karena sakit beranak, demikianlah tadinya keadaan kami di hadapan-Mu, ya TUHAN” (Yes 26:17). Tentu saja, kita patut ingat juga bahwa dari bangsa Israel kunolah baik Bunda Maria maupun Mesias berasal.

“Perempuan berselubungkan matahari” dapat juga melambangkan Gereja. Selanjutnya, dalam Kitab Wahyu bab 12 ayat 17, kita membaca, “Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus.” “Keturunannya” adalah anak-anak Allah yang telah dibaptis, para anggota Gereja. Paus St. Gregorius menjelaskan, “Matahari melambangkan terang kebenaran, dan bulan melambangkan kefanaan hal-hal yang sementara sifatnya; Gereja yang kudus bagaikan berselubungkan matahari sebab Gereja dilindungi oleh kemuliaan kebenaran ilahi, dan bulan ada di bawah kakinya sebab ia berada di atas segala hal-hal duniawi” (Moralia, 34, 12).

Terakhir, perempuan itu dapat diidentifikasikan sebagai Santa Perawan Maria. Bunda Maria melahirkan Juruselamat kita, Yesus Kristus. St. Bernardus menyatakan pendapatnya, “Matahari mengandung warna dan kemilau yang tetap; sementara cemerlang bulan tidak tetap dan berubah-ubah, tidak pernah sama. Adalah tepat, karenanya, apabila Maria digambarkan sebagai perempuan berselubungkan matahari, sebab ia masuk ke kedalaman kebijaksanaan ilahi, jauh, jauh lebih dalam daripada yang mungkin dapat dipahami manusia” (De B. Virgine, 2).

Dalam mengidentifikasikan gambaran “perempuan berselubungkan matahari” sebagai Bunda Maria, muncullah kepenuhan atas gambaran bangsa Israel kuno dan Gereja. Mari kita berpikir tentang bangsa Israel kuno. Ketika Malaikat Agung Gabriel menampakkan diri kepada Bunda Maria, ia memaklumkan (seperti dicatat dalam Kitab Suci), “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” (Luk 1:28). Selanjutnya, ia mengatakan, “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (Luk 1:30-33). Pernyataan ini merefleksikan nubuat Zefanya mengenai bangsa Israel kuno dan kedatangan Mesias, “Bersorak-sorailah, hai puteri Sion, bertempik-soraklah, hai Israel! Bersukacitalah dan beria-rialah dengan segenap hati, hai puteri Yerusalem! TUHAN telah menyingkirkan hukuman yang jatuh atasmu, telah menebas binasa musuhmu. Raja Israel, yakni TUHAN, ada di antaramu; engkau tidak akan takut kepada malapetaka lagi. Pada hari itu akan dikatakan kepada Yerusalem: "Janganlah takut, hai Sion! Janganlah tanganmu menjadi lemah lesu.” (Zef 3:16). Karena itu, Bunda Maria, Bunda sang Mesias, sebagai “perempuan berselubungkan matahari” mewakili kegenapan nubuat yang disampaikan kepada bangsa Israel.

Demikian pula, Bunda Maria dipandang sebagai “perempuan berselubungkan matahari,” yang dengan tepat melambangkan Gereja, karena Bunda Maria adalah Bunda Gereja. St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia menegaskan, “…setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.” (4:4-5). Menguraikan hal ini, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) Konsili Vatikan II, mengajarkan, “Sekaligus perawan dan bunda, Maria merupakan simbol dan realisasi paling sempurna dari Gereja: “Gereja … dengan menerima Sabda Allah dengan setia pula - menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal abadi putera-puteri yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah.” (No. 64). Lagipula, Konsili Vatikan II melanjutkan bahwa dengan diangkat ke surga dalam kemuliaan, Maria “menjadi citra serta awal Gereja yang harus mencapai kepenuhannya di masa yang akan datang.” (no. 68). Dan yang terakhir, pada akhir sesi ketiga Konsili Vatikan II, pada tanggal 21 November 1964, ketika Lumen Gentium telah diterbitkan, Paus Paulus VI menyatakan, “Kami memaklumkan Santa Perawan Maria sebagai Bunda Gereja, yaitu, ibu seluruh umat kristiani, baik umat beriman maupun para gembalanya, dan kita menyebutnya Bunda yang paling terkasih.” Sebab itu, Bunda Maria mewakili kegenapan gambaran akan Gereja: ia, yang adalah Bunda sang Juruselamat yang mendirikan Gereja, adalah bunda rohani dari mereka semua yang melalui pembaptisan diangkat sebagai anak-anak Allah dan anggota Gereja.

Baiklah kita mengutip ajaran Paus St. Pius X dalam ensikliknya, Ad Diem Illum Laetissimum (1904): "Setiap orang tahu bahwa perempuan ini adalah Perawan Maria… Yohanes, karenanya, melihat Bunda Allah yang Tersuci telah ada dalam kebahagiaan abadi, namun demikian menderita sakit bersalin dalam suatu persalinan yang misterius. Kelahiran apakah itu? Tentu saja kelahiran kita yang, meskipun masih berada di pembuangan, namun akan dilahirkan ke dalam belas kasih Allah yang sempurna dan ke dalam kebahagiaan kekal” (24).

Ada beberapa alasan penting lainnya dalam mengidentifikasikan “perempuan berselubungkan matahari” sebagai Bunda Maria. Ayat yang dipertanyakan dimulai dengan wahyu akan Surga, Bait Suci, dan Tabut Perjanjian. Patut diingat bahwa dalam Perjanjian Lama, di dalam tabut perjanjian tersimpan loh-loh batu yang bertuliskan Sepuluh Perintah Allah, Hukum Allah dan Sabda Allah. Dalam Tabut Perjanjian juga tersimpan tongkat Harun dan sebuah buli-buli emas berisi segomer penuh manna (Kel 16:33, Bil 17:10, Ibr 9:4). Sementara bangsa Israel mengembara menuju Tanah Perjanjian, suatu awan, yang melambangkan kehadiran Tuhan, akan turun atas atau “menaungi” kemah di mana tabut perjanjian disimpan. Kelak, dalam Bait Suci di Yerusalem, tabut perjanjian disimpan di tempat yang mahakudus, bagian terdalam Bait Suci yang diyakini bangsa Yahudi sebagai tempat di mana Allah tinggal.

Setelah gambaran tentang surga, bait suci dan tabut perjanjian, ayat selanjutnya menggambarkan “perempuan berselubungkan matahari.” Bunda Maria adalah Bunda Yesus, yang dikandungnya dari kuasa Roh Kudus. Seperti dimaklumkan Malaikat Agung Gabriel, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 1:35). Hubungan antara Bunda Maria dan Bait Suci, tempat yang mahakudus dan tabut perjanjian menjadi jelas.

Patut diingat juga bahwa ketika St. Yohanes mendapat penglihatan ini, tabut perjanjian telah hilang selama lebih dari 500 tahun. Nabi Yeremia telah menyembunyikannya guna mencegah tabut perjanjian dijarah dan dinajiskan oleh bangsa Babilon, dan menyatakan, “Tempat itu harus tetap rahasia sampai Allah mengumpulkan kembali umat serta mengasihaninya lagi.” (2 Mak 2:7). Dalam penglihatan ini, St. Yohanes melihat tabut perjanjian, dan kemudian ia melihat Bunda Maria. Bunda Maria membawa dalam rahimnya, Kristus, yang adalah Sabda Allah, Imam Agung yang sejati dan Roti Hidup. Sungguh, Bunda Maria adalah Tabut Perjanjian yang baru dari Perjanjian Baru, di mana Kristus sebagai imam akan menumpahkan darah-Nya dalam kurban salib.

Jika “perempuan berselubungkan matahari” menunjuk pada Bunda Maria, lalu bagaimana dengan sakit bersalin yang disebutkan dalam Kitab Wahyu itu bisa cocok? Karena Bunda Maria bebas dari Dosa Asal, sebab ia dikandung tanpa dosa, Bunda Maria bebas dari sakit bersalin. Sakit itu, karenanya, pastilah menunjuk pada sakit yang ia alami ketika ia berdiri di kaki salib (Yoh 19:25), sakit seperti dinubuatkan oleh Nabi Simeon saat Ia dipersembahkan di Bait Allah, “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan --dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri--, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” (Luk 2:34-35). Yang menarik, St. Paulus juga berbicara mengenai “sakit bersalin” dalam mewariskan iman kepada jemaat, “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu.” (Gal 4:19). Jadi, sakit itu mengandung makna rohani, yaitu sakit dalam ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus, dan sakit dalam menjadi Bunda Gereja dan menghantar yang lain kepada Putranya.

Gambaran Bunda Maria sebagai “perempuan berselubungkan matahari” juga menggambarkan kemuliaannya yang digenapi saat ia diangkat ke surga. Paus Pius XII dalam "Munifentissimus Deus," maklumat tentang dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, menyatakan bahwa para bapa Gereja perdana memandang “perempuan berselubungkan matahari” ketika menetapkan dasar Perjanjian Baru bagi iman (no. 27). Perlu dicatat, itulah sebabnya mengapa ayat yang dipertanyakan di atas dibacakan pada Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Lagipula, Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) mengajarkan, “Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat melalui kemuliaan di sorga beserta badan dan jiwanya. Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan (lih. Why 19:16), yang telah mengalahkan dosa dan maut.” (No. 59). Perhatikan bahwa dalam mengeluarkan pernyataan ini, Konsili Vatikan II mengacu pada ayat dari Kitab Wahyu seperti ditanyakan di atas.

Satu pokok pikiran terakhir untuk direnungkan: memahami segala uraian di atas mengenai topik ini, kita dapat melihat bagaimana Bunda Maria - peran dan gambarannya dalam ayat-ayat Kitab Wahyu ini - menggenapi Perjanjian Lama. Oleh sebab itu, para bapa Gereja perdana mengidentifikasikan Maria sebagai “Hawa Baru.” Dalam bab ketiga Kitab Kejadian, Hawa pertama jatuh ke dalam pencobaan dengan ingin menjadi serupa dengan Tuhan, melanggar perintah Tuhan dan berbuat dosa. Sebaliknya, Bunda Maria penuh rahmat, bebas dari segala noda dosa. Saat Kabar Sukacita, ia mengatakan kepada Malaikat Agung Gabriel, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu,” menyerahkan diri secara total pada kehendak Allah (Luk 1:38).

Melalui Hawa yang pertama, datanglah maut dan pintu gerbang surga ditutup; melalui Maria, datanglah kehidupan kekal yang dimenangkan oleh karya keselamatan Yesus. Hawa pertama disebut “ibu semua yang hidup,” Bunda Maria adalah sungguh Bunda dari mereka semua yang hidup secara rohani dalam keadaan rahmat.

Dan yang terakhir, setelah jatuhnya manusia ke dalam dosa, Tuhan bersabda kepada ular, setan, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya ….” (Kej 3;15). Dalam Kitab Wahyu, setan digambarkan sebagai seekor naga. Kata Ibrani `nahash' yang dipergunakan dalam Kitab Kejadian dapat berarti baik ular maupun naga. Juga, permusuhan antara Maria dan setan, antara keturunannya dan keturunan setan kita temukan dalam Kitab Wahyu. Gambaran Hawa Baru dihadirkan pada masa awal Gereja oleh St. Yustinus Martir, St. Ireneus dari Lyon, Tertulianus, St. Agustinus, St. Yohanes dari Damaskus, sekedar beberapa dari antara mereka, dan juga dipertegas dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Konsili Vatikan II, Bab VIII, yang berjudul, “Santa Perawan Maria Bunda Allah”.

Oleh sebab itu, “perempuan berselubungkan matahari,” seperti dilukiskan dalam Kitab Wahyu jelas merupakan suatu referensi yang indah akan peran Bunda Maria dalam karya keselamatan.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Woman Clothed with the Sun” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Tidak ada komentar: